Hosting Unlimited Indonesia

Isran Noor: Mendagri Lebay!

Written By Unknown on Thursday, September 11, 2014 | Thursday, September 11, 2014

Ketua Umum Apkasi Isran Noor
Samarinda (Metro Kalimantan) - Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung selalu diidentikkan dengan biaya politik besar. Meski begitu, mereka yang pernah bertarung dalam kedua mekanisme, baik dipilih DPRD atau dipilih rakyat, ternyata lebih memilih penentuannya melalui tangan tiap warga negara. Bukan di gedung dewan.

Salah satunya Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Diketahui, Faroek adalah kepala daerah produk pemilihan langsung pada 2008 dan 2013. Dia juga pernah bertarung pada Pemilihan Gubernur Kaltim 2003 yang dipilih DPRD. Namun kala itu dia kalah dengan Suwarna Abdul Fatah.

Dia menuturkan, lebih mendukung pemilihan secara langsung. Lantaran pilihan masyarakat tak bisa dipengaruhi. Terpilih melalui mekanisme pemilihan langsung menurutnya sama dengan mendapat legitimasi dari rakyat.

“Masyarakat melihat karya,” ujarnya. Seorang figur kepala daerah hanya perlu mengenal dan dikenal di daerah. “Bagaimana kalau tidak mengenal daerah bisa menyerap aspirasi masyarakat. Makanya pemimpin itu harus komplet keduanya,” terang dia.

Memang diakuinya, pilkada secara langsung dan melalui DPRD ada plus minusnya. Diakuinya, ongkos politik itu perlu, yang terlarang adalah money politic (politik uang).

“Kalau (pemilihan) langsung, butuh kampanye untuk bertemu masyarakat. Itu wajar untuk transportasi. Kan tidak mungkin berenang,” selorohnya.

Apakah penyebab tak mendukung pemilihan melalui DPRD lantaran ada transaksional? Faroek enggan menanggapi itu. “Yang jelas ongkos politik itu diperlukan. Yang terlarang itu membeli suara,” ujarnya.

Sementara, Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Isran Noor menyatakan, Apkasi dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) akan menggelar rapat koordinasi luar biasa di Jakarta, Kamis (11/9).

Pertemuan itu membahas dan menentukan sikap atas RUU Pilkada yang tengah dibahas di DPR RI. “Walaupun sikap kami sudah jelas, yakni menolak,” tegas dia selepas Simposium Nasional II Jalan Perubahan untuk Indonesia Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian yang digelar Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Universitas Mulawarman, Samarinda, kemarin.

Kata dia, bila kepala daerah dipilih DPRD, jelas merupakan kemunduran dalam demokrasi. Dijelaskannya, negeri ini sudah berpengalaman dalam pilkada melalui DPRD. “Apa yang terjadi? Pemerintahan daerah jadi instabilitas. Banyak sekali upaya untuk merecoki kegiatan kepala daerah,” tutur Isran.

Bupati Kutai Timur itu menambahkan, bahkan sebelum pertanggungjawaban kepala daerah disampaikan kepada DPRD, terjadi penolakan beberapa waktu sebelumnya. “Itu fakta. Kalau (pilkada langsung) berbiaya mahal, itu relatif,” paparnya.

Bahkan jika ada yang menyebut rawan konflik horizontal, itu tak benar. Dia pun mempertanyakan pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang menyebut ada sekian ratus kepala daerah yang terjerat kasus korupsi berkaitan dengan pilkada langsung.

“Menurut saya lebay. Dari mana buktinya?” ucap dia. “Toh dalam hasil sidang, tidak pernah disebutkan penyebabnya karena pemilihan langsung,” sambungnya.

Jadi kata politikus Partai Demokrat ini, tak ada korelasi antara kasus korupsi dengan pilkada langsung. “Apakah ada jaminan korupsi akan hilang (bila dipilih DPRD)?” sindirnya. Menurutnya, situasinya malah bisa lebih parah.

“Yang saya tahu korupsi itu di mana-mana terjadi. Tingkat pusat juga ada. Malah gede. Bahkan sampai tiga menteri yang tersangkut kasus,” tambah dia. Soal pilkada melalui lembaga legislatif, diakuinya sangat berisiko permainan uang, lebih gampang. “Cukup 50 persen plus satu suara. Tinggal mainkan money politic, selesai itu barang,” katanya.

HILANGKAN HAK RAKYAT

Nada minor muncul dari penggiat antikorupsi Pokja 30 Carolus Tuah. Dia berpendapat bahwa bila RUU pilkada benar-benar disahkan, sama saja dengan menghilangkan hak rakyat untuk memilih pemimpin. Pasalnya dengan sistem ini, kepala daerah hanya bisa dipilih oleh anggota dewan. “Kesempatan rakyat untuk mengoreksi kebijakan pun akan hilang,” sebutnya.

Hal ini bisa dilihat, karena yang mengangkat kepala daerah adalah dewan. Nantinya kepala daerah akan tunduk kepada DPRD yang melantik. Tidak menutup kemungkinan, akan banyak lobi politik antara calon kepala daerah dengan anggota dewan. “Dalam politik tidak ada yang bisa menjamin, kontrak politik yang terjadi di bawah tangan,” ujarnya. (ril*/dns/che/k8/mk)

0 komentar: