Deklarasi KMP |
Setara Institute
menilai konsolidasi politik ini mengubah pranata-pranata demokrasi yang telah
dihasilkan selama konsolidasi demokrasi sejak 1998 hingga sekarang.
“Ada tiga isu yang menjadi perhatian kami yang menunjukkan upaya untuk kembali rezim Orde Baru. Upaya ini diwakili oleh partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang pada pilpres Juli lalu mengusung pasangan Prabowo-Hatta,” ujar Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani saat konferensi pers di Kantor Setara Institute, Jakarta pada Senin (29/9).
Selain Ismail, hadir juga Ketua Badan Pengurus Setara Institute Bonar Tigor
Naipospos, peneliti Setara Institute Aminudin Syarif dan peneliti dan pejabat
sementara Suryadi Radjab sebagai pembicara.
Konferensi pers ini
bertemakan “Mengawal Wakil Rakyat, Membendung Arus Konsolidasi Orba”.
Ismail menilai, pengesahan UU Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) merupakan konsolidasi awal kekuatan politik bergaya Orba oleh Koalisi Merah Putih (KMP).
Ismail menilai, pengesahan UU Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) merupakan konsolidasi awal kekuatan politik bergaya Orba oleh Koalisi Merah Putih (KMP).
“UU MD3 membelokkan suara rakyat yang memberikan mandat pada partai pemenang pemilu untuk memimpin lembaga perwakilan. Hal ini dilakukan oleh KMP untuk memangkas hak PDI Perjuangan untuk memimpin DPR dan dilakukan dengan dasar bagi-bagi kekuasaan ”tuturnya.
Ismail juga berpandangan bahwa UU MD3 terlalu memberikan privilege khusus kepada DPR sebagaimana dalam pasal 245 ayat (1) yang memuat ketentuan bahwa penyidik, baik dari kepolisian, kejaksaan dan maupun KPK harus mendapat izin dulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
“UU MD3 juga dibahas tanpa melibatkan DPD secara berkualitas padahal DPD adalah stakeholders dari UU ini,” katanya.
Konsolidasi politik gaya Orba lain yang akan didorong KMP, menurut Ismail adalah gagasan pengembalian kedudukan MPR. Ismail menilai kemungkinan besar KMP akan mendorong gagasan ini agar Presiden dan Wakil Presiden menjadi mandataris MPR sehingga tidak lagi dipilih oleh rakyat.
“Ini tentunya menyalahi prinsip demokrasi konstitusional sebagaimana tertuang dalam UUD tahun 1945. MPR bukan lagi pemegang kedaulatan rakyat karena rakyat sudah berdaulat langsung,” tegasnya.
Dia menjelaskan bahwa setelah perubahan keempat UUD 1945, MPR tidak lagi dipahami sebagai lembaga tertinggi negara karena kedudukannya sudah sama dengan lembaga tinggi negara lainnya, seperti DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, MK, MA dan BPK.
“Gagasan pengembalian kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara hanya didorong oleh nafsu politik dan kekuasaan dari KMP,” katanya.
Selain dua konsolidasi politik gaya Orba yang telah disebut, Ismail menilai pengesahan RUU Pilkada melalui mekanisme voting pada Jumat (26/9) lalu merupakan konsolidasi politik gaya Orba yang lain. Menurutnya, pilkada lewat DPRD merupakan pemangkasan terhadap kedaulatan rakyat oleh elite partai politik.
“Politik lewat DPRD merupakan salah satu ciri khas politik Orba di mana yang mengendalikan seluruh proses politik adalah elite parpol sehingga sangat oligarki,” pungkasnya.(sp/mk)
0 komentar:
Post a Comment