Menutur data LSI, dari 1.200 responden sekitar 81,25 persen publik setuju dengan kepala daerah yang dipilih langsung. Hanya ada 10,71 persen publik yang setuju kepala daerah dipilih DPRD. Lalu, 4,91 persen publik setuju sistem kepala daerah ditunjuk oleh presiden. Sisanya, ada 3,13 persen publik yang tidak mengetahui atau tidak menjawab soal RUU pilkada tersebut.
Peneliti LSI Adjie Alfarabi menuturkan, data-data itu menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia sebenarnya lebih menginginkan pilkada secara langsung. "Ini yang terlihat dalam data tersebut," jelasnya.
Dengan kecilnya dukungan masyarakat untuk pilkada dipilih DPRD, maka dapat diartikan RUU Pilkada tersebut tidak memiliki legitimasi publik. Padahal, dalam membuat RUU harusnya dipertimbangkan rasionalitas dan legitimasinya. "Kalau soal rasionalitas sudah banyak yang membahas, tapi soal sikap publik baru sekarang ini," jelasnya.
Dalam survei yang dilakukan pada 5-7 September tersebut juga diketahui jika partai yang tergabung dalam KMP akan disalahkan dalam masalah tersebut. Partai yang paling dinilai bersalah adalah Partai Demokrat, diikuti partai Golkar dan disusul Gerindra.
Adjie menjelaskan, Partai Demokrat menjadi yang paling dibenci karena partai ini yang mengajukan usulan pilkada oleh DPRD tersebut. "Karena itu diharapkan Presiden SBY membuat kebijakan prorakyat mendekati penghujung masa kepemimpinannya," jelasnya.
Bahkan, lanjut dia, perlawanan masyarakat pada RUU pilkada tersebut diprediksi akan muncul. Misalnya, melalui media sosial hingga masyarakat yang melakukan demonstrasi. "Perlawanan masyarakat akan cukup sengit untuk menggagalkan pengesahan RUU ini," ujarnya.
Perlawanan masyarakat ini akan menjadi sanksi sosial pada partai-partai pendukung RUU pilkada. Dampaknya, dalam jangka panjang, partai-partai tersebut akan kehilangan pendukungnya. "Ini yang akan menjadi masalah tersendiri untuk partai di KMP," tuturnya.
Sementara itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menuturkan, sebenarnya MK telah memiliki keputusan. Kedua cara pemilihan itu tetap sah secara konstitusional. "Cuma harus dipilih yang sesuai dengan kondisi yang ada, ini pilihan politik," tuturnya.
PEMERINTAH MASIH PRO
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri tidak ingin ikut terbawa arus perubahan sikap sejumlah fraksi yang mendukung opsi pemilihan kepala daerah oleh DPRD dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada.
Meski Fraksi Partai Demokrat selaku partai pemerintah menyatakan sikap memilih opsi pemilihan tidak langsung, Kemendagri menyatakan pilihan yang diambil pemerintah sampai saat ini adalah pilkada dengan pemilihan langsung oleh rakyat.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan menyatakan, pihaknya telah mendengar sejumlah perubahan pandangan fraksi atas RUU Pilkada. Perubahan itu belum membuat pemerintah mengubah keputusannya.
"Pemerintah sampai saat ini masih dukung pilkada langsung, baik kabupaten/kota dan provinsi," ujar Djohermansyah dalam rapat panitia kerja (panja) RUU Pilkada di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (9/9).
Dia menilai, sejatinya ada harapan besar sebelum rapat konsinyering panitia khusus (pansus) RUU Pilkada digelar di Kopo, Jawa Barat, pada 2 September lalu. Pandangan sembilan fraksi di DPR bersama dengan pemerintah relatif seragam, yakni menghendaki pilkada tetap digelar langsung, dengan dilakukan penyempurnaan di sejumlah aspek.
"Sesuai kesepakatan rapat 14 Mei, sejatinya tidak ada (fraksi) yang berbeda, semua (pilkada) langsung," ujarnya.
Pemerintah yang awalnya mengusulkan sistem pemilihan DPRD, dalam rapat 14 Mei itu memutuskan mendekat dengan menyepakati sistem pemilihan langsung. Salah satu pertimbangannya adalah adanya pasal berisi pilkada serentak yang digelar 2015 mendatang. Namun, hasil rapat pada 2 September memunculkan perubahan pandangan, terutama dari fraksi partai pendukung Koalisi Merah Putih.
"Pemerintah mendekat, tapi fraksi-fraksi menjauh. Kami mengharapkan kembalilah ke pangkuan ibu pertiwi," ujarnya.
Salah satu yang hampir pasti dalam RUU Pilkada adalah pilkada serentak. Menurut Djohermansyah, pilkada serentak bisa memberikan efisiensi anggaran dari total biaya pilkada mencapai 50 persen anggaran. Jika diasumsikan biaya pilkada adalah Rp 70 triliun, dengan pilkada serentak, biaya bisa ditekan menjadi Rp 35 triliun.
Tidak hanya sebatas efisiensi anggaran, pilkada serentak sebagian daerah yang digelar 2015 dan 2018, akan mempermudah koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah pada masa mendatang. Setelah pilkada 2015 dan 2018 digelar, rencananya seluruh daerah akan digabung pelaksanaannya dalam pilkada serentak pada 2020 atau 2021. "Pilkada serentak akan menciptakan kesinambungan perencanaan pembangunan," ujarnya.
Sementara, dalam pandangan fraksi atas RUU Pilkada kemarin, tidak ada perubahan komposisi pendukung pilkada dipilih DPRD. Fraksi pendukung Koalisi Merah Putih yang terdiri dari Partai Golongan Karya, Partai Demokrat, Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera tetap meminta pilkada dipilih DPRD. Sementara Fraksi PDIP, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hati Nurani Rakyat tetap mendukung pilkada dengan pemilihan langsung.
Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja yang memimpin panja kemarin menyampaikan, perbedaan pandangan dari sembilan fraksi akan tetap ditampung dan diakomodasi. Usulan yang masuk dalam panja akan dibahas secara lebih substantif dalam tim perumus RUU Pilkada.
"Yang menghendaki pilkada langsung, bagaimana rumusannya. Lalu yang menghendaki pilkada oleh DPRD, silakan buat juga rumusannya," kata Hakam. Kedua konsep itu, nantinya akan disandingkan bersama untuk dibahas, hingga pengambilan keputusan akhir. (jppn/mk)
0 komentar:
Post a Comment