Banjarmasin (Metro Kalimantan) - Perkara gratifikasi kasus korupsi yang menimpa Adriansyah (Aad)
sebagai Bupati Tanah Laut waktu lalu dan H. Muhidin sebagai pengusaha, mereka terjerat keranah hukum bermula dari perpanjangan ijin kuasa
pertambangan (KP) milik H. Muhidin (MH), dimana pada saat itu sebelumnya
Ijin KP diterbitkan di Tanah Bumbu (Tanbu) oleh Bupati HM. Zairulah
Azhar.
Setelah pemekaran wilayah dimana titik lokasi tambang berada didekat
aliran Sungai Cuka Tanbu, Bupati Tanbu beserta DPRD menyerahkan wilayah
tambang tersebut ke Tanah Laut. Tetapi dikarenakan titik tambang
tersebut berada pada 2 wilayah perbatasan sedang bersengketa maka yang
berwenang meneruskan itu harus melalui Gubernur Kalimantan Selatan.
Diketahui saat ini Gubernur Kalsel tidak melimpahkan sengketa tapal
batas kedua wilayah itu pada Mendagri dikarenakan masih adanya surat pelimpahan dari Gubernur Dulu Alm Syahril Darham bahwa sungai cuka masuk wilayah tanah bumbu,belum dicabut serta adanya surat edaran baru dari Gubernur Rudy Ariffin yang mengatakan bahwa sungai cuka merupakan wilayah daerah Kabupaten Tanah Laut, dan sampai sekarang penetapan daerah sungai cuka masuk kabupaten mana tidak pernah ada keputusan, jadi sampai hari ini revisi tata
ruang Provinsi maupun Kabupaten sampai saat ini belum disahkan oleh
pusat kata Alumnus Fakultas Hukum yang tak mau disebutkan namanya ini.
Jadi ia mengatakan ketika Muhiddin memilki kuasa
tambang yang diterbitkan oleh Tanbu dan ingin diperpanjang melalu
wilayah kabuapten Tanah Laut (Tala) maka terjadilah permintaan selaku
pribadi Muhiddin agar Aad selaku bupati tanah laut saat itu untuk memperpanjang
ijinya.
Dalam peroses waktu perijinan rupanya ada komunikasi yang tersumbat
sehingga Muhiddin melalui rekanan dari Partai PDI Pusat minta bantu untuk bisa
memuluskan perijinan tersebut yang tadinya awalnya lokasi ijin di Tanbu
sekarang beralih lokasinya di Tala. Demi kelancaran peroses
penyelesaian perijinan Muhiddin memberikan uang tunai sejumlah Rp 5 miliar
yang didistribusikan pada Aad dan dalam perjalanannya ternyata itu tak
bisa diperpanjang ijinya.
Muhiddin kecewa sehingga membuat surat somasi pada Aad agar mengembalikan
uang pengurusan ijin tersebut , tetapi posisinya tidak sebagai Pengusaha
tetapi sebagai Walikota Banjarmasin saat ini. Dengan menggunakan
kewenangan itulah maka terjadi dugaan Gratifikasi, padahal itu kejadian
kasus tersebut bukan dilakukan antara Pejabat antar Pejabat tetapi
sebenarnya anta Kuasa Pertambangan dengan Pemerintah.
Atas pengakuan Aad Dana yang diterimanya untuk urus ijin KP itu Rp 3
miliar sementara kenyataannya Muhiddin telah menyerahkan uang sebanyak Rp 5 miliar melalui Parpol
yang sama. Jadi dana Rp 2 miliar tidak diakui oleh Aad. Untuk itu
muncullah ada indikasi gratifikasi secara hukum akibat dari pengurusan
ijin untuk perpanjangan diasumsikan mengasih pejabat.
Atas dasar itulah Pihak peyidik Polda Kalsel dengan Mabes POLRI
menetapkan tersangka Muhiddin selaku pemberi Aad selaku penerima sebagai
tersangka dan sudah memasuki pada P21 yang sudah dilimpahakan ke Kejati
Kasel, kapan hasilnya , kita tunggu prosesnya sampai ke pengadilan ujar
alumni Fakultas Hukum Unlam ini memberikan pendapatnya.
Tetapi kalau analisa yuridis kita, karena perubahan wilayah dari
Tanbu jadi ke Tala untuk wilayah ijin tambang itu, saat ini jika
ditinjau secara causa prima tidak halal karena tidak defininitif sebab
Mendagri belum mengesahkannnya sampai hari ini sebagai wilayah Tanah
laut.
Berangkat dari situ maka kedua tersangka Aad Muhidin bisa lepas
hukumnya karena tadinya wilayah tambang tersebut memang berada di Tanbu.
Untuk ke Tala pelimpahan wilayah itu belum difinalisasi oleh Mendagri
sampai hari ini.
Ditempat terpisah Kasi Penkum Kejati Kalsel Erwan S. melihat
permasalah kasus Aad Muhidin tersebut saat dikonfirmasi usai orasi Demo Aktivis dikantornya bebrapa waktu lalu
mengatakan belum
bisa memberikan penjelasan karena masih dalam tahapan proses. Adanya
kemungkinan terdakwa bebas “mungkin saja”. (MP/MK)
0 komentar:
Post a Comment