Muhaimin Iskandar |
Jakarta - Sekretaris Jenderal Organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan, penggunaan dana bantuan sosial
(bansos) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans)
patut dicurigai. Oleh karena itu, ia meminta Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengaudit penggunaan
dana tersebut.
“Kami mencurigai dana bansos di Kemnakertrans digunakan oleh sejumlah
staf khusus Menteri, sebab semua mereka adalah caleg,” kata Timboel
Siregar kepada SP, Minggu (16/3) malam.
Timboel mengatakan, dana bantuan sosial (bansos) di Kemnakertrans
naik sangat signifikasn dari Rp 7,68 miliar di tahun 2012 menjadi Rp
70,21 miliar di tahun 2013. Khusus di tahun 2014 ini Kemnakertrans
mengelola dana bantuan sosial sebesar Rp 25 miliar. Yang patut
dicurigai, kata Timboel, adalah kenaikan yang sangat signifikan dari
tahun 2012 ke tahun 2013 yang naik sebesar Rp 65 miliar lebih.
Penggunaan dana bantuan sosial tahun 2013 di Kemnakertrans ini sangat
patut dicurigai dan diduga digunakan untuk mengumpulkan dana kampanye di
tahun 2014 ini.
Timboel mengutip berita VOA Indonesia, yang berjudul "Jelang Pemilu 2014, Calon Incumbent Salah Gunakan Dana Bantuan Sosial" (25 Februari 2014), menyatakan, di Jawa Timur,
sebuah lembaga swadaya masyarakat mengaku diminta pemotongan 50 persen
atas dana bantuan sosial sebesar Rp 100 juta yang diterima dari
Kemnakertrans.
“Patut diduga pemotongan uang bansos ini dilakukan oleh orang-orang
dekat Cak Imin (Muhaimin Iskandar-red) yang juga ikut mencalonkan diri
di Pemilu Legislatif tahun 2014 ini,” tegas Timboel. Selain kasus
tersebut, kata dia, pengalokasian dana bantuan sosial ke Balai Latihan Kerja (BLK) di seluruh Indonesia seperti pengadaan barang juga patut juga dicuriga.
“Faktanya selama ini BLK-BLK yang ada sangat minim dalam kuantitas
dan kualitas alat-alat latihan kerjanya sehingga tidak bisa mendongkrak
kualitas tenaga kerja kita,” kata dia. Sebelumnya, Muhaimin melalui Staf
Khusus Kemnakertrans, Abdul Wahid Maktub, mengatakan, bansos di
Kemnakertrans diselenggarakan dengan petunjuk pelaksanaan yang jelas.
Untuk mengatasi kemungkinan penggunaan oleh warga masyarakat yang tidak
terorganisir, kata dia, kebanyakan bansos di Kemnakertrans lebih
diprioritaskan pada lembaga LSM, Lembaga Pelatihan Kerja (LPK), atau
yayasan yang memiliki akte notaris yang jelas. Dalam sejumlah kasus,
kata dia, memang memahami kalau sejumlah anggota masyarakat harus
diorganisir untuk mendapat bantuan dari kementerian, terutama kelompok
masyarakat yang jarang tersentuh bantuan langsung pemerintah.
Menurut Abdul, bansos memiliki implikasi politik, kadang tidak dapat
dihindari, karena, konstituen partai politik adalah juga warga negara.
Selain itu, mekanisme komunikasi dan jaringan formal birokrasi kadang
tidak menjangkau semua masyarakat. Jejaring politik akhirnya digunakan
utk mendapat akses sumber daya pembangunan. Akhirnya, kata dia, harus
dikatakan bahwa bansos senantiasa terlalu terbatas untuk menggerakkan
dukungan politik. Ketika bansos secara sengaja ditukarkan dengan
dukungan politik, kata Abdul, dia tidak pernah efektif. Sebab bansos
bukan jawaban keseluruhan dari persoalan bangsa dan negara.
“Bansos hanya jawaban instan yang terlalu sederhana,” kata dia.
Karena itu, lanjut Abdul, kalau politik demokrasi Indonesia harus dibuat
lebih berkualitas, maka Abdul mengajak untuk beralih pertarungan
wacana, tentang bagaimana persoalan-persoalan bangsa ini secara
fundamental dapat dijawab secara meyakinkan. (sp/mk)
0 komentar:
Post a Comment