Jakarta - Jual beli suara untuk memenangkan partai politik dan
calon anggota legislatif (caleg) pada pemilu dinilai bukan hal baru.
Praktik curang itu ternyata sudah ditemukan pada pemilu sebelumnya.
Deputi
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Veri
Junaidi mengungkapkan, praktik jual beli suara dipastikan melibatkan
berbagai pihak antara lain komite penyelenggara pemungutan suara (KPPS),
calon anggota legislatif (caleg), bahkan partai politik. "Kasus jual
beli suara tidak hanya melibatkan satu aktor, tapi banyak pihak," ujar
Veri kepada wartawan, Senin 7 April 2014 malam.
Menurut
dia, praktik jual beli suara itu dapat dilakukan dengan beberapa modus.
Misalnya, petugas KPPS melakukan rekayasa dengan menulis hasil
penghitungan suara yang berbeda antara di kertas C1 plano pada papan
rekapitulasi dan formulir C 1 di tempat pemungutan suara (TPS).
"Misalnya petugas dengan secara sengaja menambahkan angka di depan atau
di belakang jumlah suara." kata Veri.
Apalagi, kata dia,
biasanya saksi-saksi di TPS malas untuk mencermati proses penyalinan
hasil penghitungan suara di formulir C 1. "Saksi biasanya malas, jadi
asal tanda tangan," ujarnya.
Kecurangan lain, kata Veri, petugas
KPPS menulis hasil penghitungan suara dengan menggunakan pensil. Modus
tersebut dilakukan agar petugas dengan mudah mengubah hasil penghitungan
suara.
"Saksi harus memastikan hasil akhir penghitungan suara
ditulis menggunakan pulpen. Kalau menggunakan pensil, harus berani
menolak," tandasnya.
Dugaan kecurangan pada pemilu mencuat
menyusul pernyataan Ketua DKPP Jimly Asshidiqqie yang mengaku menerima
laporan adanya jual beli suara. Ada beberapa petugas KPU yang disinyalir
menawarkan jasa jual beli suara kepada caleg.
"Laporan ini
(jasa jual beli) kita terima. Ada tiga partai politik yang bicara pada
kami. Saya yakinkan ini gejala sporadis, bukan umum," kata Jimly di
Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Senin 7 April 2014.(dam/mk)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment