Jakarta (Metro Kalimantan) - Demokratisasi yang berlangsung lebih dari 15
tahun kini justru mengalami kemunduran akibat sikap mayoritas anggota
DPR yang mengesahkan RUU Pilkada dengan menarik pemilihan kepala daerah
dalam otoritas DPRD. Sikap para politisi di Senayan yang mengambil alih
hak konstitusional rakyat berisiko semakin elitisnya demokrasi.
“Alih-alih
bukan demokrasi substansial yang diwujudkan justru elitisasi prosedur
demokrasi,” kata sosiolog politik UGM, Arie Sudjito, Sabtu (27/9/2014).
Menurut
Arie, para politisi senayan tidak memikirkan dampak yang akan
ditimbulkan pilkada oleh DPRD yang begitu besar, pertama membatasi akses
rakyat berpartisipasi dan mengontrol kekuasaan karena pilkada akan
diwarnai transaksional kekuasaan antara politisi di parlemen dengan
kandidat tanpa bisa diawasi rakyat.
“Cara pemilihan lewat DPRD
ini akan menyuburkan praktik korupsi. Dampaknya DPRD dan kepala daerah
tidak menutup kemungkinan memanfaatkan APBD untuk ajang berburu rente,”
ujarnya.
Yang lebih mengkhawatirkan, imbuhnya, makin tertutupnya
akses masyarakat mendapatkan hak dipilih menjadi pemimpin daerah melalui
mekanisme calon independen, soalnya kekuasaan kemungkinan makin
eksklusif sebagai kawasan otoritas parpol.
“Pilkada oleh DPRD melanggengkan patronase politik, demokrasi disandera
oligarki parpol dan parlemen, sehingga membentuk kubu-kubu pemburu
kuasa,” katanya.
Pengamat Politik dari Jurusan Politik dan
Pemerintah (JPP) UGM, Mada Sukmajati menambahkan pemilihan kepala daerah
secara langsung maupun tidak langsung sebenarnya tidak melanggar
demokrasi dan bersifat konstitusional. Namun yang menjadi persoalanannya
terletak dari sisi proses pengambilan kebijakan, karena tidak ada
perdebatan substansial di parlemen dan di masyarakat mengenai
dikembalikannya pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
“Secara konstitusi tidak ada yang dilanggar, tapi dari sisi proses
sampai UU Pilkada ini disahkan sangat problematik dan hanya bersifat
prosedural. Dibahas intensif 2 bulan ini pasca pilpres,” katanya.
Mada
sependapat bahwa dikembalikannya pilkada lewat DPRD adalah sebuah
bentuk kemunduran proses pembelajaran demokrasi yang sudah berlangsung
di Indonesia. Bahkan menjadi kemunduran dari desentralisasi otonomi
daerah.
“Satu poin penting, diberlakukannya otonomi daerah itu
terdapat daulat rakyat memilih pemimpin lokal. Sehingga hal ini menjadi
sangat problematik,” katanya
Mada bahkan secara tegas mengatakan
revisi UU Pilkada ini sebagai bentuk peninggalan buruk dari hasil
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. “Saya kira ini blunder terbesar
justru terjadi di masa akhir pemerintahan beliau,” terangnya.
Belajar
dari UU Pilkada ini, Mada mengingatkan bahwa tidak menutup kemungkinan
akan ada poses pengambilan kebijakan publik yang terburu-buru dan tidak
berdasar dari hasil studi empiris. “Tidak bagus untuk perdebatan di
kalangan rakyat. Dimensi pembelajarannya sangat rendah. Proses
pengambilan kebijakan seperti ini sangat bias kepentingan elit,”
katanya.(dtk/mk)
Bukti Keangkuhan Partai Politik, Pilkada Lewat DPRD
Written By Unknown on Saturday, September 27, 2014 | Saturday, September 27, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment