Ambon (Metro Kalimantan) - Dugaan Bupati Seram Bagian Timur (SBT) Abdullah Vanath menerima fee Rp
2,5 miliar Kontraktor PT Cahaya Perkasa Ferry Tanaya alias Asseng dari
proyek pembangunan Bandara Kufar SBT sampai saat ini lagi-lagi macet di
Polda Maluku.
“Sudah ada bukti penerimaan uang, sudah ada
pengakuan dari saksi kunci. Ini seharusnya dipakai oleh Reskrimsus Polda
Maluku sebagai pintu masuk untuk mengusut gratifikasi tersebut, karena
sudah dua alat bukti dan tinggal diperkuat dengan keterangan saksi
lainnya,” kata mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura
(Unpatti) George Leasa ketika dihubungi melalui telepon selulernya, Rabu
(10/9).
Ia menjelaskan, penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku
semestinya tidak sulit untuk menjerat Bupati Abdullah Vanath dalam kasus
dugaan gratifikasi.
“Tidak boleh ada upaya melindungi siapa pun
termasuk Bupati SBT, Direskrimsus Polda Maluku harus serius mengusut
kasus gratifikasi ini,” kata George, yang juga Staf Pengajar Ilmu Hukum
Pidana Fakultas Hukum Unpatti.
Dia meminta Ditreskrimsus
proaktif untuk menuntaskan kasus ini, dan tidak membiarkannya
mengambang, sehingga memunculkan opini publik bahwa ada upaya
perlindungan terhadap pejabat yang diduga terlibat.
“Gratifikasi
jelas melanggar undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi,
sehingga polisi sudah harus menindaklanjutinya,” katanya.
Senada
dengannya, Akademisi FISIP Unpatti, Vecky Ruhunlela mengatakan, kalau
pemimpin daerah melakukan tindakan dugaan korupsi maka pemerintahannya
akan kotor.
Ia menjelaskan, gratifikasi itu namanya tindak pidana
korupsi. Menurutnya, hampir semua wilayah pemekaran di Maluku menjadi
kabupaten baru semuanya terjadi korupsi.
“Tidak bisa pungkiri
bahwa dalam pelaksanaan roda pemerintahan peluang-peluang untuk terjadi
korupsi, kolusi dan nepotisme sangat terbuka besar,” katanya. Namun
baginya, masalah ini sebaiknya dikembalikan ke pihak penyidik, kalau
memang faktanya jelas, bukti jelas segera ditindaklanjuti.
Sebagaimana
diketahui, mantan Kepala Perwakilan Pemkab SBT di Jakarta, Muhammad
Ramly Faud telah diperiksa sejak tahun 2013 lalu sebagai saksi dalam
kasus gratifikasi Abdullah Vanath oleh penyidik Ditreskrimsus, AKP
Lorens Werluka.
“Uang Rp 2,5 miliar itu diserahkan oleh saya
kepada Abdullah Vanath, sedangkan Herman Tanaya yang adalah om Asseng
yang memberikan uang tersebut di Surabaya, dan Salim Arief Ely adalah
ajudan Vanath yang menyaksikan secara langsung penyerahan uang itu dari
saya kepada Vanath,” katanya waktu itu.
Karenanya, Ramly meminta penyidik Ditreskrimsus untuk tidak tebang pilih dalam melakukan pemeriksaan.
Dokumen
pemerimaan fee oleh Vanath sudah beredar luas di public sejak lama.
Dari dokumen itu diketahui uang tersebut adalah fee proyek pembangunan
Bandara Kufar, yang bernilai total Rp 50 milar.
Dokumen satu
halaman itu adalah bukti serah terima uang senilai Rp 2,5 milar dari
Asseng kepada Vanath. Adapun tujuan pemberian uang seperti tertulis
dalam dokumen yang ditandatangani Vanath diatas materai Rp 6.000 adalah,
panjar pembayaran fee Bandara Kufar senilai 7% dari anggaran Rp 50
milar. Dokumen tanda terima itu ditandatangani Vanath di Jakarta, pada
19 Desember 2009 lalu.
Jika Vanath harus menerima jatah 7,5 % dari Rp
50 milar seperti yang tertulis di dokumen itu, maka total uang yang
harus diterima Vanath adalah Rp 3,75 milar. Dengan demikian, itu berarti
Asseng masih berkewajiban memberikan uang senilai 1,25 milar lagi ke
Vanath.(sp/mk)
Dugaan Gratifikasi Abdullah Vanath Macet di Polda Maluku
Written By Unknown on Wednesday, September 10, 2014 | Wednesday, September 10, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment