Hosting Unlimited Indonesia

Akademisi: Pembelajaran Politik Tidak Eelegan di DPR

Written By Unknown on Sunday, November 2, 2014 | Sunday, November 02, 2014

Satya Novanto
Banjarmasin  (Metro Kalimantan) - Akademisi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Dr H Mohammad Effendy SH MH berpendapat, peristiwa yang terjadi belakangan di DPR-RI sebuah pembelajaran politik yang tidak elegan.

"Sikap oknum Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang membuat pimpinan DPR-RI tandingan, sebuah pembelajaran politik yang tidak elegan," ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) itu, di Banjarmasin, Sabtu.

Oleh sebab itu, dosen pengasuh hukum tatanegara tersebut menyayangkan sikap dari oknum KIH yang terkesan tidak mau menerima kenyataan dalam pertarungan politik.

Semestinya, menurut dia, oknum KIH tersebut menerima kenyataan politik di DPR-RI, sebagaimana kelompok Koalisi Merah Putih (KMP) yang juga bisa memaklumi kekalahan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.

"Sebagai contoh ketika peresmian Joko Widodo (Jokowi) dan HM Jusuf Kalla (JK) masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, dari KMP hadir, tidak ada kesan pemboikotan karena ketidakikhlasan," ujarnya.

"Pembentukan pimpinan DPR-RI tandingan merupakan wujud ketidakikhlasan atas hasil pemilihan yang sudah menjadi kenyataan politik, dan semestinya tidak perlu terjadi," ujarnya.

Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kalsel itu mengkhawatirkan, pembentukan pimpinan tandingan DPR-RI bisa berimplikasi terhadap masa depan negara dan bangsa.

Sebab, lanjut mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu, ketika pemerintahan Jokowi-JK mau konsultasi terkait masalah pemerintahan dan pembangunan, ke DPR-RI yang mana.

Karena itu, alumnus S2 dan S3 bidang hukum dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat (Jabar) tersebut berpendapat, tidak ada jalan lain, kecuali pimpinan tandingan DPR-RI harus tiada.

"Mereka yang membentuk pimpinan tandingan DPR-RI harus besar jiwa dan rendah hati, menerima kenyataan politik, demi negara dan bangsa Indonesia tercinta," lanjut mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Unlam itu.

Ia menyatakan, pembentukan pimpinan tandingan DPR-RI bukan contoh yang baik dalam pembelajaran politik, karena bisa menimbulkan kesan negatif, baik dalam kaitan dengan pemerintahan, pembangunan dan perpolitikan.

"Kita harapkan peristiwa di DPR-RI tersebut jangan sampai terjadi di Kalsel, baik untuk DPRD tingkat provinsi maupun pada 13 kabupaten/kota," lanjutnya.

"Mari kita berkerja sesuai tugas dan fungsi masing-masing, dengan prinsip saling keterbukaan (transparansi), serta kebersamaan guna memajukan daerah dan masyarakat Kalsel," demikian Moh Effendy.

Pada kesempatan lain, seorang pengamat ketatanegaraan Indonesia, yang juga alumnus Unlam Banjarmasin, mengatakan, sepanjang sejarah republik ini berdiri atau merdeka tahun 1945, baru kali ini ada pimpinan tandingan DPR-RI.

Pada masa konstituante pascapemilu tahun 1955 tak ada pembentukan pimpinan tandingan, kendati pada waktu itu dalam perpolitikan terjadi silang pendapat, yang akhirnya muncul Dekrit 5 Juli 1959 kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.

"Sebab itu, perlu kita cermati dan waspadai kemungkinan ada pihak lain yang sengaja melalui orang-orang tertentu untuk membuat Bangsa Indonesia tidak lagi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila," ujarnya.

Sebalumnya, langkah DPR tandingan berawal dari sikap pimpinan DPR yang dinilai kelompok Koalisi Indonesia Hebat yang mengacuhkan hak-hak dari fraksi anggota KIH.

Fraksi KIH sudah mengajukan mosi tidak percaya pada pimpinan DPR. Puncaknya pada 28 Oktober, di mana pimpinan DPR mengesahkan nama-nama calon pimpinan fraksi dan alat kelengkapan DPR dari kubu Suryadharma Ali yang dianggap pro-KMP.(ant/sp/mk)

0 komentar: