Hosting Unlimited Indonesia

Dugaan Gratifikasi Abdullah Vanath Macet di Polda Maluku

Written By Unknown on Wednesday, September 10, 2014 | Wednesday, September 10, 2014

Ambon (Metro Kalimantan) - Dugaan Bupati Seram Bagian Timur (SBT) Abdullah Vanath menerima fee Rp 2,5 miliar Kontraktor PT Cahaya Perkasa Ferry Tanaya alias Asseng dari proyek pembangunan Bandara Kufar SBT sampai saat ini lagi-lagi macet di Polda Maluku.

“Sudah ada bukti penerimaan uang, sudah ada pengakuan dari saksi kunci. Ini seharusnya dipakai oleh Reskrimsus Polda Maluku sebagai pintu masuk untuk mengusut gratifikasi tersebut, karena sudah dua alat bukti dan tinggal diperkuat dengan keterangan saksi lainnya,” kata mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura (Unpatti) George Leasa ketika dihubungi melalui telepon selulernya, Rabu (10/9).

Ia menjelaskan, penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku semestinya tidak sulit untuk menjerat Bupati Abdullah Vanath dalam kasus dugaan gratifikasi.

“Tidak boleh ada upaya melindungi siapa pun termasuk Bupati SBT, Direskrimsus Polda Maluku harus serius mengusut kasus gratifikasi ini,” kata George, yang juga Staf  Pengajar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Unpatti.

Dia meminta Ditreskrimsus proaktif untuk menuntaskan kasus ini, dan tidak membiarkannya mengambang, sehingga memunculkan opini publik bahwa ada upaya perlindungan terhadap pejabat yang diduga terlibat.

“Gratifikasi jelas melanggar undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga polisi sudah harus menindaklanjutinya,” katanya.

Senada dengannya, Akademisi FISIP Unpatti, Vecky Ruhunlela mengatakan, kalau pemimpin daerah  melakukan tindakan dugaan korupsi maka pemerintahannya akan kotor.

Ia menjelaskan, gratifikasi itu namanya tindak pidana korupsi. Menurutnya, hampir semua wilayah pemekaran di Maluku menjadi kabupaten baru semuanya terjadi korupsi.

“Tidak bisa pungkiri bahwa dalam pelaksanaan roda pemerintahan peluang-peluang untuk terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme sangat terbuka besar,” katanya.  Namun baginya, masalah ini sebaiknya dikembalikan ke pihak penyidik, kalau memang faktanya jelas, bukti jelas segera ditindaklanjuti.

Sebagaimana diketahui, mantan Kepala Perwakilan Pemkab SBT di Jakarta, Muhammad Ramly Faud telah diperiksa sejak tahun 2013 lalu sebagai saksi dalam kasus gratifikasi Abdullah Vanath oleh penyidik Ditreskrimsus, AKP Lorens Werluka.

“Uang Rp 2,5 miliar itu diserahkan oleh saya kepada Abdullah Vanath, sedangkan Herman Tanaya yang adalah om Asseng yang memberikan uang tersebut di Surabaya, dan Salim Arief Ely adalah ajudan Vanath yang menyaksikan secara langsung penyerahan uang itu dari saya kepada Vanath,” katanya waktu itu.

Karenanya, Ramly meminta penyidik Ditreskrimsus untuk tidak tebang pilih dalam melakukan pemeriksaan.

Dokumen pemerimaan fee oleh Vanath sudah beredar luas di public  sejak lama. Dari dokumen itu diketahui uang tersebut adalah fee proyek pembangunan Bandara Kufar, yang bernilai total Rp 50 milar.

Dokumen satu halaman itu adalah bukti serah terima uang senilai Rp 2,5 milar dari Asseng kepada Vanath. Adapun tujuan pemberian uang seperti tertulis dalam dokumen yang ditandatangani Vanath diatas materai Rp 6.000 adalah, panjar pembayaran fee Bandara Kufar senilai 7% dari anggaran Rp 50 milar. Dokumen tanda terima  itu ditandatangani Vanath di Jakarta, pada 19 Desember 2009 lalu.

Jika Vanath harus menerima jatah 7,5 % dari Rp 50 milar seperti yang tertulis di dokumen itu, maka total uang yang harus diterima Vanath adalah Rp 3,75 milar. Dengan demikian, itu berarti Asseng masih berkewajiban memberikan uang senilai 1,25 milar lagi ke Vanath.(sp/mk)


0 komentar: