Mujiono Ketika ketangkap dijakarta |
Samarinda - Tersangka kasus dugaan korupsi dalam kasus pengalihan hak
pembelian saham Pemerintah Kabupaten Kutai Timur di PT Kaltim Prima Coal
kepada PT Kutai Timur Energi (KTE), Mujiono, Kamis (13/3/2014) lalu,
menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Tipikor Samarinda.
Jaksa
Penuntut Umum (JPU) Gabungan dari Kejaksaan Agung RI, Kejaksaan Tinggi
Kaltim, dan Kejaksaan Negeri Sangatta mendakwa Mujiono dengan dakwaan
primair dan subsidair.
"Dakwaan primairnya pasal 2
UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dalam UU nomor
20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, juntho pasal
55 dan 64 KUHP," kata Tony Wibisono, JPU dari Kejari Sangatta, Jumat
(14/3/2014).
Adapun dakwaan subsidairnya pasal 3 UU
nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dalam UU nomor 20
tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, juntho pasal 55
dan 64 KUHP.
Yang menarik, Mujiono juga mengajukan
eksepsi atau keberatan dalam proses peradilan di PN Tipikor ini. Salah
satunya mempertanyakan mengapa dirinya yang diajukan ke pengadilan.
Padahal masih ada pihak terkait lainnya.
"Terdakwa
mengajukan eksepsi. Dalam waktu dekat kami akan membacakan jawaban
eksepsi yang dilanjutkan dengan putusan sela. Adapun ketiga tersangka
lainnya, sudah dalam proses, namun belum dipastikan kapan mulai sidang,"
katanya.
Sebelumnya, Mujiono juga mengajukan gugatan
pra-peradilan di PN Sangatta. Yaitu terkait penahanan kembali di Lapas
Tenggarong yang dinilainya cacat hukum. "Namun gugatan ini gugur dengan
masuk dan berjalannya perkara di pengadilan negeri tipikor Samarinda,"
kata Tony.
Selain Mujiono, tiga koleganya di DPRD
Kutim juga menjadi tersangka dalam pusaran kasus KTE. Yaitu Alek
Rohmanu, Bahrid Buseng, dan Abdal Nanang. "Kami mendapatkan informasi
ketiganya juga sudah diperiksa dan kini dalam tahap pemberkasan," kata
Kasi Pidsus Kejari Sangatta, Suwanda.
Kejari Sangatta mengatakan sebenarnya pihaknya berharap berkas
keempatnya bisa segera diproses dan dilimpahkan sekaligus ke PN Tipikor,
sehingga persidangan bisa lebih efisien. Seperti dalam perkara Anung
Nugroho dan Apidian Triwahyudi, beberapa sidang digelar sekaligus untuk 2
perkara terpisah dengan pertimbangan efektifitas dan efisiensi waktu.
Mujiono
sebenarnya sudah bebas dari hukumannya di Lapas Tenggarong 16 Januari
lalu. Ia telah menjalani masa hukuman 1 tahun 6 bulan putusan Mahkamah
Agung (MA) dalam kasus korupsi dana operasional Sekretariat DPRD Kutim.
MA
memutuskan sanksi pidana penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 50 juta
setelah JPU menempuh langkah kasasi atas putusan bebas Mujiono dalam
kasus dugaan korupsi dana operasional Sekretariat DPRD Kutim tahun
anggaran 2005 senilai Rp 263 juta, yang disidangkan di Pengadilan Negeri
Sangatta.
Namun beberapa hari menjelang bebasnya
Mujiono, pihak Kejari Sangatta berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung RI,
apakah yang bersangkutan masih tersangkut perkara lain dan tetap harus
ditahan atau sudah bisa keluar dari tahanan.
Ternyata
pihak Kejagung melalui dua penyidiknya, Ardi dan Supracoyo, menyatakan
Mujiono masih harus ditahan untuk penyidikan kasus KTE. Akhirnya ia
ditahan selama 20 hari untuk kepentingan penyidikan dan 20 hari untuk
kepentingan penuntutan.
Kasus KTE bermuara pada
penandatanganan perjanjian pengalihan hak pembelian atas 18,6% saham PT
Kaltim Prima Coal (KPC) dari Pemkab Kutim kepada PT KTE tanggal 10 Juni
2004 yang dilakukan di Wisma Bumi Resources. Adapun PT KTE baru dibentuk
di tempat yang sama hanya beberapa jam sebelum hak membeli saham
dialihkan.
Perjanjian tersebut dinilai bertentangan
dengan UU Keuangan Negara dan Perbendaharaan Negara karena mengalihkan
asset daerah tanpa persetujuan DPRD Kutim dan tanpa dinaungi perda, yang
mengakibatkan hilangnya asset daerah berupa hak eksklusif untuk membeli
saham.
Alasan pengalihan yang terungkap, Pemkab
Kutim tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli saham 55.800 lembar
saham senilai USD 104 juta. Padahal saat itu diketahui KTE juga tidak
memiliki uang.
Padahal sebelumnya telah ada sidang
pleno DPRD Kutim yang menyetujui pembelian saham. Plus terdapat addendum
perjanjian yang menyepakati batas akhir pembayaran 18,6% saham jatuh
tempo 12 Juni 2004.
Namun justru hak pembelian
diserahkan pada KTE yang juga tidak punya uang. KTE akhirnya menyerahkan
hak membeli saham 13,6% tersebut kepada BR dengan mendapatkan
kompensasi saham 5% tanpa dana (golden share).
Saham
tersebut belakangan dijual dan hasilnya dikelola oleh KTE sebagai
perusahaan swasta di bawah naungan UU Perseroan Terbatas. Termasuk
diinvestasikan di Samuel Sekuritas, Bank. IFI (sudah dilikuidasi), dan
Capital Trade Indonesia (CTI). Namun hingga saat ini dana tersebut belum
masuk ke kas daerah Kutim.
Asset negara dinilai
menjadi hilang ketika terjadi pengalihan kepada pihak lain tanpa
persetujuan DPRD. Lembaga peradilan menilai yang harus bertanggungjawab
adalah semua yang terlibat dalam perjanjian pengalihan hak pembelian
atas saham.
Selain Anung Nugroho, yang saat itu
menjabat Direktur KTE, terdapat enam orang lain yang menandatangani
perjanjian pengalihan hak membeli saham 10 Juni 2004. Yaitu mantan Dirut
KTE, almarhum Adiman Madik, Bupati Kutim tahun 2004, Mahyudin, serta
empat orang anggota DPRD Kutim (kini mantan, red) yang menjadi Komisaris
KTE, yaitu Abdal Nanang, Mujiono, Bahrid Buseng, dan Alek Rohmanu.
0 komentar:
Post a Comment