Hosting Unlimited Indonesia

Mantan Ketua DPRD Kutim Jalani Sidang Tipikor

Written By Unknown on Saturday, March 15, 2014 | Saturday, March 15, 2014

Mujiono Ketika ketangkap dijakarta
Samarinda - Tersangka kasus dugaan korupsi dalam kasus pengalihan hak pembelian saham Pemerintah Kabupaten Kutai Timur di PT Kaltim Prima Coal kepada PT Kutai Timur Energi (KTE), Mujiono, Kamis (13/3/2014) lalu, menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Tipikor Samarinda.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Gabungan dari Kejaksaan Agung RI, Kejaksaan Tinggi Kaltim, dan Kejaksaan Negeri Sangatta mendakwa Mujiono dengan dakwaan primair dan subsidair.

"Dakwaan primairnya pasal 2 UU  nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dalam UU  nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, juntho pasal 55 dan 64 KUHP," kata Tony Wibisono, JPU dari Kejari Sangatta, Jumat (14/3/2014).

Adapun dakwaan subsidairnya pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dalam UU nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, juntho pasal 55 dan 64 KUHP.

Yang menarik, Mujiono juga mengajukan eksepsi atau keberatan dalam proses peradilan di PN Tipikor ini. Salah satunya mempertanyakan mengapa dirinya yang diajukan ke pengadilan. Padahal masih ada pihak terkait lainnya.

"Terdakwa mengajukan eksepsi. Dalam waktu dekat kami akan membacakan jawaban eksepsi yang dilanjutkan dengan putusan sela. Adapun ketiga tersangka lainnya, sudah dalam proses, namun belum dipastikan kapan mulai sidang," katanya.

Sebelumnya, Mujiono juga mengajukan gugatan pra-peradilan di PN Sangatta. Yaitu terkait penahanan kembali di Lapas Tenggarong yang dinilainya cacat hukum. "Namun gugatan ini gugur dengan masuk dan berjalannya perkara di pengadilan negeri tipikor Samarinda," kata Tony.

Selain Mujiono, tiga koleganya di DPRD Kutim juga menjadi tersangka dalam pusaran kasus KTE. Yaitu Alek Rohmanu, Bahrid Buseng, dan Abdal Nanang. "Kami mendapatkan informasi ketiganya juga sudah diperiksa dan kini dalam tahap pemberkasan," kata Kasi Pidsus Kejari Sangatta, Suwanda.

Kejari Sangatta mengatakan sebenarnya pihaknya berharap berkas keempatnya bisa segera diproses dan dilimpahkan sekaligus ke PN Tipikor, sehingga persidangan bisa lebih efisien. Seperti dalam perkara Anung Nugroho dan Apidian Triwahyudi, beberapa sidang digelar sekaligus untuk 2 perkara terpisah dengan pertimbangan efektifitas dan efisiensi waktu.

Mujiono sebenarnya sudah bebas dari hukumannya di Lapas Tenggarong 16 Januari lalu. Ia telah menjalani masa hukuman 1 tahun 6 bulan putusan Mahkamah Agung (MA) dalam kasus korupsi dana operasional Sekretariat DPRD Kutim.

MA memutuskan sanksi pidana penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 50 juta setelah JPU menempuh langkah kasasi atas putusan bebas Mujiono dalam kasus dugaan korupsi dana operasional Sekretariat DPRD Kutim tahun anggaran 2005 senilai Rp 263 juta, yang disidangkan di Pengadilan Negeri Sangatta.

Namun beberapa hari menjelang bebasnya Mujiono, pihak Kejari Sangatta berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung RI, apakah yang bersangkutan masih tersangkut perkara lain dan tetap harus ditahan atau sudah bisa keluar dari tahanan.

Ternyata pihak Kejagung melalui dua penyidiknya, Ardi dan Supracoyo, menyatakan Mujiono masih harus ditahan untuk penyidikan kasus KTE. Akhirnya ia ditahan selama 20 hari untuk kepentingan penyidikan dan 20 hari untuk kepentingan penuntutan.

Kasus KTE bermuara pada penandatanganan perjanjian pengalihan hak pembelian atas 18,6% saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) dari Pemkab Kutim kepada PT KTE tanggal 10 Juni 2004 yang dilakukan di Wisma Bumi Resources. Adapun PT KTE baru dibentuk di tempat yang sama hanya beberapa jam sebelum hak membeli saham dialihkan.

Perjanjian tersebut dinilai bertentangan dengan UU Keuangan Negara dan Perbendaharaan Negara karena mengalihkan asset daerah tanpa persetujuan DPRD Kutim dan tanpa dinaungi perda, yang mengakibatkan hilangnya asset daerah berupa hak eksklusif untuk membeli saham.

Alasan pengalihan yang terungkap, Pemkab Kutim tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli saham 55.800 lembar saham senilai USD 104 juta. Padahal saat itu diketahui KTE juga tidak memiliki uang. 

Padahal sebelumnya telah ada sidang pleno DPRD Kutim yang menyetujui pembelian saham. Plus terdapat addendum perjanjian yang menyepakati batas akhir pembayaran 18,6% saham jatuh tempo 12 Juni 2004. 
Namun justru hak pembelian diserahkan pada KTE yang juga tidak punya uang. KTE akhirnya menyerahkan hak membeli saham 13,6% tersebut kepada BR dengan mendapatkan kompensasi saham 5% tanpa dana (golden share). 

Saham tersebut belakangan dijual dan hasilnya dikelola oleh KTE sebagai perusahaan swasta di bawah naungan UU Perseroan Terbatas. Termasuk diinvestasikan di Samuel Sekuritas, Bank. IFI (sudah dilikuidasi), dan Capital Trade Indonesia (CTI). Namun hingga saat ini dana tersebut belum masuk ke kas daerah Kutim. 

Asset negara dinilai menjadi hilang ketika terjadi pengalihan kepada pihak lain tanpa persetujuan DPRD. Lembaga peradilan menilai yang harus bertanggungjawab adalah semua yang terlibat dalam perjanjian pengalihan hak pembelian atas saham.

Selain Anung Nugroho, yang saat itu menjabat Direktur KTE, terdapat enam orang lain yang menandatangani perjanjian pengalihan hak membeli saham 10 Juni 2004. Yaitu mantan Dirut KTE, almarhum Adiman Madik, Bupati Kutim tahun 2004, Mahyudin, serta empat orang anggota DPRD Kutim (kini mantan, red) yang menjadi Komisaris KTE, yaitu Abdal Nanang, Mujiono, Bahrid Buseng, dan Alek Rohmanu.

0 komentar: