Dialog Kenegaraan |
Melalui perubahan Undang-Undang (UU) No 22 Tahun 1999
menjadi UU No 32 Tahun 2004, pemerintah ingin menata ulang sistem pemerintahan
daerah untuk memperbaiki relasi antara pemerintah pusat, gubernur, dan
bupati/walikota.
Direktur
Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda), Prof Djohermansyah Djohan di Jakarta,
Rabu (17/9), mengatakan, ada 22 isu strategis dalam RUU Pemerintahan Daerah
(Pemda), yang intinya memperbaiki
relasi antara gubernur, bupati, walikota, dan tentu dengan presiden.
“Selama
ini, putus mata rantainya. Bupati dan
walikota bebas menjadi raja-raja kecil di daerah. Mereka menikmati kekuasaan
sangat besar. Mereka bebas melakukan apa saja, bebas kemana saja dan tak perlu
melapor ke gubernur,” katanya.
Ke
depan, kata dia, bupati/walikota
berada di bawah pembinaan ketat
gubernur. “Kita bangun hierarki dengan memberikan tugas pemerintahan umum,”
katanya.
Djohermansyah
kemudian menyebut ada tiga urusan pemerintahan.
Pertama,
urusan pemerintahan absolut yakni urusan pemerintahan yang mutlak menjadi
kewenangan pemerintah pusat seperti pertahanan, keamanan, agama, yustisi,
politik luar negeri, moneter dan fiskal.
Kedua,
urusan pemerintahan konkuren yakni urusan pemerintahan yang dibagi atas
pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Ketiga,
urusan pemerintahan umum yakni urusan pemerintahan pusat yang dilimpahkan
pelaksanaan kepada gubernur dan bupati/walikota di wilayahnya masing-masing,
misalnya urusan menjaga empat pilar negara.
“Kejelasan
pembagian urusan pemerintahan juga untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
kewenangan antar susunan atau tingkat pemerintahan dan menghindari saling
lempar tanggung jawab,” katanya.
Sanksi Keras
Djohermansyah
juga menegaskan, dalam RUU Pemda ini, kepala daerah akan diberi sanksi tegas
jika melanggar aturan.
Sanksi
bisa dalam bentuk teguran, diberhentikan sementara dan sampai dipecat atau
dimakzulkan jika sudah merugikan kepentingan umum.
Para
kepala daerah juga akan diberi sanksi pidana minimal satu tahun penjara jika
seenaknya mengangkat dan memindahkan staf atau PNS sembarangan.
Yang
terjadi selama ini, kata dia, setelah bupati terpilih, dan ada PNS yang bukan
pendukungnya dipindahkan ke tempat lain atau tidak diberi posisi yang
semestinya. Ini jelas perbuatan melanggar UU dan harus dihentikan.
“RUU Pemda mengatur hal ini dan tindak tanduk kepala daerah
akan diatur lebih tegas lagi dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN) dan UU
Administrasi Pemerintahan Sipil, sehingga tidak bisa lagi main ganti-ganti
pejabat seenaknya,” katanya.
Mengenai
pergantian kepala daerah karena alasan mundur, Djohermansyah mengatakan, kepala daerah yang mengundurkan diri tak
perlu melalui mekanisme sidang paripurna.
“Dia
cukup mengatakan saya berhenti. Enggak perlu di bawah ke DPRD, nanti tak
lantik-lantik dia,” katanya.(ant/sp/mk)
0 komentar:
Post a Comment