Kantor KPK |
"Pada saat pertama kali didirikan, respons dari publik kepada KPK tidak seantusias saat ini. Selang berjalan waktu, dimulai saat kepemimpinan Taufikurrahman Ruki, KPK mulai menjadi lirikan media dengan intens. Lalu pasca itu, semakin meningkat lagi dimasa Antasari Azhar, hegemoni pemberitaan atas KPK sangat luar biasa," tutur Tigor Doris Sitorus, Direktur Eksekutif Jokowi Watch kepada wartawan, Senin (26/1) di Jakarta.
Saat Antasari bermasalah, kata Tigor, lalu muncul Ketua KPK baru yang lebih ’laris manis’ dipublikasi media yakni Abraham Samad. Apa-apa yang dituliskan media atas kerja mereka sepertinya sudah menjadi sesuatu kinerja yang maksimal.
Pemberitaan KPK itu seperti mengalahkan apa-apa hasil kinerja dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Padahal Polri dan Kejaksaan itu dua institusi penegak hukum yang lebih banyak mengungkap korupsi dengan pola penghitungan kerugian keuangan negara menggunakan kemampuan instrumen auditor negara.
Kami menyarankan, sebaiknya Polri dan Kejagung jangan juga mengesampingkan soal pembentukan opini media. "Jangan pula mereka masih mempercayai bahwa model kinerja mereka selama ini bisa mereduksi korupsi. Sebaiknya mereka meningkatkan ritme pekerjaannya dalam mengungkap kerugian negara itu.
"Polri dan Kejakgung jangan lagi menerapkan cara-cara seperti dulu lagi, yakni tertutup malah cenderung alergi kepada media. Sebaiknya apa-apa yang mereka kerjakan dibuka ke publik. Baik itu dari mulai melakukan penyelidikan bahkan sampai penyidikan. Buka saja ke media," ujarnya.
Itu menurut kami cara yang terideal untuk menarik perhatian dukungan publik sekaligus untuk mendorong aparaturnya menjadi semakin maksimal dalam bekerja. Sebab apa-apa yang akan mereka kerjakan tentu akan menjadi pengetahuan bagi publik.
"Kalau saran kami itu bisa diwujudkan oleh Polri dan Kejagung, maka dalam konteks pemberantasan korupsi yang sebenarnya mereka lebih matang ketimbang KPK yang hanya mengandalkan Operasi Tangkap Tangan (OTT)," jelas Tigor.
Memang, lanjut Tigor, bagi publik cara OTT itu akan lebih seksi untuk diliput media ketimbang upaya menangkap pelaku koruptor menggunakan institusi auditor negara.
"Sangkin seksinya, walau sekali sebulan KPK berhasil melakukan OTT namun sepertinya mereka ’sudah berhasil’ mengungkap puluhan kasus korupsi dalam setahun. Padahal tidak demikian. Entah mengapa hanya OTT itu yang menjadi pilihan KPK, sehingga publik yang sudah kritis dalam memahami tindak pidana korupsi melihat bahwa KPK adalah ’penangkap koruptor’ semata, seakan-akan mengabaikan tugas pokok dan fungsi utamanya yakni melakukan pencegahan tindak pidana korupsi," paparnya.
Sementara itu, masih kata Tigor, pengungkapan kasus korupsi yang dilakukan Polri terlebih Kejaksaan dianggap masih sebelah mata, karena dilihat publik tidak seksi.
Jadi menurut kami, melihat animo masyarakat yang seperti ini, sebaiknya Polri dan Kejagung harus memikirkan bagaimana acara untuk ’membalap’ KPK dalam konteks mengintip kejahatan-kejahatan yang merugikan keuangan negara.
"Polri dan Kejagung harus mampu membalap kinerja KPK dalam memberantas kasus korupsi di negara ini. Kan, Polri dan Kejagung lebih dulu berdiri ketimbang KPK, seharusnya dua lembaga ini mampu bekerja lebih baik lagi dengan bantuan media massa," demikian Tigor Doris menjelaskan.(ant/sp/mk05)
0 komentar:
Post a Comment