Mantan Ketua BPK Hadi Purnomo (sp) |
Kesamaan modus yang dilakukan Hadi Poernomo (HP), yaitu menyalahgunakan kewenangan dengan bersembunyi di balik kebijakan pajak saat menjabat sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak.
Sedangkan mantan Deputi Gubernur BI bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya melakukan penyalahgunaaan kewenangan sebagai Deputi Gubernur BI di balik kebijakan perbankan.
Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berusaha membuktikannya. "Dari ekspose yang disampaikan penyidik itu yang harus dibuktikan," kata Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dalam diskusi media di Gedung KPK Jakarta, Jumat.
"Penyidik melaporkan cukup dan faktanya, seperti itu kan tidak mungkin diubah, apalagi orang mengatakan TR punya konfik kepentingan dengan HP. Saya punya keyakinan, penyidik proper," ungkapnya.
Taufiequrachman Ruki (TR) menjabat anggota BPK pada 2009-2013, sedangkan Hadi Poernomo (HP) menjadi Ketua BPK pada 2009-2014.
Pada Kamis (23/4), KPK memeriksa Hadi sebagai tersangka kasus tersebut, seusai diperiksa Hadi mengaku bahwa ia tidak menerima imbalan dalam kasus yang dituduhkan.
"Tidak ada sama sekali," kata Hadi, saat ditanya wartawan seusai diperiksa sekitar tujuh jam di Gedung KPK Jakarta, Kamis kemarin.
Namun, menurut Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja, penerimaan imbalan bukan menjadi unsur yang menentukan kejahatan dari sangkaan yang dituduhkan KPK kepada Hadi.
"Kebijakan jelas sesuatu yang merupakan kewajiban pemerintah. Tapi, ketika ada unsur conflict of interest (COI). Itu yang membuat tanggung jawab hukumnya. Kalau ada COI, ya masa didiamkan?" katanya.
Saat ini KPK sedang membuktikan konflik kepentingan yang disangkakan kepada Hadi.
"COI pidana kan tidak hanya menguntungkan diri sendiri, tapi bisa orang lain," demikian Adnan.
Hadi Poernomo sebagai Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Pajak 2002-2004 diduga menyalahgunakan kewenangan dengan bersembunyi di balik kebijakan pajak yaitu mengubah telaah direktur PPH mengenai keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA, Tbk tahun pajak 1999.
Surat keberatan pajak penghasilan 1999-2003 itu diajukan BCA pada 17 Juli 2003 terkait Non Performance Loan (NPL atau kredit bermasalah) senilai Rp 5,7 triliun kepada direktur PPH Ditjen Pajak.
Setelah penelaahan, diterbitkan surat pengantar risalah keberatan dari direktur PPH pada 13 Maret 2004 kepada Dirjen Pajak dengan kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolak.
Satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA, yaitu pada 18 Juli 2004, Hadi Poernomo selaku dirjen pajak tercatat memerintahkan agar Direktur PPH mengubah kesimpulan yaitu dari semula menyatakan menolak, diganti menjadi menerima seluruh keberatan.
Hadi kemudian mengeluarkan surat keputusan Dirjen Pajak yang memutuskan untuk menerima seluruh keberatan wajib pajak sehingga tidak ada cukup waktu bagi direktur PPH untuk memberikan tanggapan atas kesimpulan yang berbeda itu.
Atas penerimaan keberatan itu keuangan negara dirugikan senilai Rp 375 miliar bahkan potensi kerugian negara dapat mencapai Rp 1 triliun sehingga sudah dapat dikategorikan memenuhi unsur pidana yang disangkakan.
Atas perbuatan tersebut, KPK menyangkakan Hadi Poernomo berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, maupun setiap orang yang penyalahgunaan kewenangan dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar. (Ant/Sp/mk04)
0 komentar:
Post a Comment