Hosting Unlimited Indonesia

Lima pejabat ini gerah Freeport dua tahun tak setor dividen

Written By Unknown on Thursday, March 27, 2014 | Thursday, March 27, 2014

Freeport Indonesia Inc
Papua - Papua adalah bumi kaya menghidupi manusia di dalamnya. Fakta itu pertama diketahui oleh Lembaga Geografi Kerajaan Belanda (KNAG) pada 1904 saat wilayah itu masih jadi bagian Hindia Belanda. Ekspedisi di Papua Barat Daya era kolonial menunjukkan di tanah Timika yang berupa belantara kala itu, tersimpan kandungan mineral berharga, mulai dari tembaga, biji besi, hingga emas.

Pada 1967, empat tahun selepas jajak pendapat warga menyatakan pisah dari Belanda, industri yang diundang Indonesia resmi menjamah Timika dan mengambil kekayaan di dalam tanahnya. Berdasarkan rangkuman hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), warga Papua disebut-sebut meyakini akan sejahtera bergabung ke republik berusia muda, dengan pusat pemerintahan di ujung barat Pulau Jawa.

Pada tahun itu, Freeport Indonesia Inc, asal Amerika Serikat, beroperasi berbekal payung hukum Kontrak Karya I untuk pemegang konsesi pertambangan. Beleid ini dikeluarkan pemerintah Indonesia era Orde Baru, sebagai salah satu solusi memulihkan perekonomian yang nyaris ambruk akibat hiperinflasi di akhir pemerintahan Soekarno.

Lewat Kontrak Karya itu, Freeport memperoleh pembebasan pajak (tax holiday) selama tiga tahun setelah membangun fasilitas tambang, dan tidak dibebani royalti untuk penjualan komoditas apapun yang mereka dapatkan dari Timika, hingga 1984.

Selama puluhan tahun, pemerintah pusat tak punya bagian saham, selain royalti ekspor yang hanya maksimal 1,5 persen. Baru kemudian ada perjanjian Kontrak Karya jilid II, itupun setelah 1990, yang menyatakan Indonesia mendapat saham 20 persen. Pembagiannya, 20 persen pemerintah, separuhnya lagi PT Indocopper Investama Corp.

Tanpa ada arsip data yang bisa menjelaskan alasannya, pada 1995 porsi saham pemerintah turun lagi dari janji awal, menjadi tinggal 9,36 persen. Pada momen 50 tahun Indonesia merdeka tersebut, pemerintah rutin memperoleh dividen, disetor oleh Freeport kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pada 1996, setoran Freeport terkesan besar, akumulasi dari royalti ekspor, pajak badan, serta dividen, Indonesia memperoleh USD 479 juta. Akan tetapi, laba kotor perusahaan ini dalam periode yang sama mendekat USD 20 miliar.

Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lantas menyadari posisi Indonesia sangat lemah di Kontrak Karya II yang berjalan hingga 2021. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 2013 mengenai renegosiasi Kontrak Karya menegaskan agar porsi saham dan royalti pemerintah naik.

Seusai beberapa kali pertemuan yang alot, awal bulan ini Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik Soetjipto mengaku berniat meningkatkan saham Indonesia di tambang Grasberg, Tembagapura, Papua.

Diupayakan saham pemerintah pusat naik menjadi 20 persen selambat-lambatnya pada 2021 melalui skema divestasi. Itu ditambah penaikan royalti untuk beberapa komoditas, semisal emas dari 1 persen menjadi 3,75 persen.

Seiring perkembangan itu, tanggung jawab Freeport menguap satu per satu. Kementerian BUMN mencatat sejak 2012 tidak ada setoran dividen dari Freeport . Biasanya mereka menyetor Rp 1,5 triliun ke kas negara saban tahun. Tambang emas dari Negeri Paman Sam ini pun terus mengulur-ulur proses renegosiasi Kontrak Karya.

Menteri ESDM Jero Wacik memastikan Freeport belum juga bersedia merealisasikan janji renegosisasi. Alasannya, mereka dulu menjalin kerja sama dalam format Kontrak Karya yang tak bisa diubah-ubah oleh pemerintah. Ada kemungkinan renegosiasi dengan Freeport baru tuntas selepas pemilihan umum tahun ini.

"Mereka merasa KK-nya kuat. Jadi, ada tarik ulur," kata Wacik.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM R. Sukhyar juga menilai pemerintah tak tepat bila terlalu menekan Freeport . Kenaikan royalti cuma 3,5 persen, lebih rendah dari standar kerja sama tambang serupa di dunia yang mencapai 5 persen, supaya perusahaan ini tak enyah dari Indonesia.

Tambang terbesar di dunia dalam hal kapasitas produksi itu sudah menjanjikan pemerintah akan menggelontorkan duit lagi. "Jangan sampai kita menerapkan itu (royalti naik tinggi) lalu mereka (pengusaha) kesulitan. Kenapa? Karena Freeport Indonesia kan mau investasi baru sampai USD 3 miliar untuk tambang bawah tanah," kata Sukhyar awal bulan ini.

Kendati kesulitan memaksa Freeport tunduk pada agenda pemerintah, pemerintah pusat mulai gerah ketika isu tunggakan dividen mencuat. Ini di luar tarik ulur soal pembangunan smelter yang sampai sekarang juga masih jadi polemik. Janji menagih bagi hasil keuntungan perusahaan tambang itu pun keluar dari mereka.

Anggota DPR yang tergabung dalam tim pemantau otonomi khusus Aceh dan Papua, Irene Manibuy beberapa waktu lalu mengingatkan dividen harus mengalir langsung ke warga lokal. Hal yang harus ditegaskan adalah pemerataan ekonomi bagi penduduk Papua. Bukan dana optimalisasi dari APBN, ataupun CSR Freeport .

"Jangan hanya CSR berdasarkan dividen hanya 1 persen dari pendapatan kotor. Kami butuh share dan mengatur sendiri pembangunan di sana, daerah kami," tandasnya.

Tapi para pejabat di Jakarta punya pandangan lain. Dividen Freeport yang ditunggak berarti setoran ke negara yang berkurang. Dari target setoran Rp 150 triliun dari seluruh perusahaan yang sahamnya dimiliki pemerintah, tahun lalu cuma tercapai 142 triliun.

Ini daftar pejabat yang gerah pada perusahaan AS itu ketahuan menunggak kewajiban bayar dividen, seperti dirangkum

1.  Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) R. Sukhyar menilai Freeport wajib membayar dividen ke negara. Hal itu merupakan kewajiban perusahaan asal Amerika Serikat kepada negara sebagai salah satu pemegang saham.

Atas dasar itu, data mereka menunggak setoran dividen dua tahun terakhir tak dapat dibenarkan.

"Harus dibayarkan. Dia harus bayar. Kalau tidak dibayarkan, berarti tidak patuh kewajiban," ujar Sukhyar di Jakarta, Rabu (26/3).

Tetapi, Sukhyar mengatakan pihaknya tidak memiliki wewenang untuk mengambil langkah terkait hal tersebut. Menurut dia, hal itu sepenuhnya menjadi wewenang Kementerian Keuangan untuk menagih Freeport. "Tanya ke Kemenkeu," ungkap Sukhyar.

2.  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, dengan menunggak dividen selama dua tahun terakhir, Freeport telah melanggar kewajiban ke Indonesia. Harus ada langkah tegas agar Freeport memenuhi kewajiban itu.

"Memang haknya pemerintah untuk mendapatkan dividen," ujar Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Harya Adityawarman di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (25/3).

Harya mengatakan, pemerintah melihat semua aspek terkait berjalannya operasi perusahaan tambang termasuk Freeport. Perusahaan yang berafiliasi ke Amerika Serikat tersebut berkewajiban membagi dividen ke negara karena ada saham negara di dalam Freeport.

"Ketentuan-ketentuan seperti tertuang dalam Undang-undang harus terpenuhi," ungkap dia.

3.  Menteri BUMN Dahlan Iskan geram dengan tingkah PT Freeport Indonesia yang sudah dua tahun terakhir tidak menyetor ke Indonesia dalam bentuk dividen. Aksi bandel perusahaan tambang emas yang berafiliasi ke Amerika Serikat tersebut membikin target dividen dari Kementeriannya tahun lalu tidak sesuai target.

Menurut Dahlan, tidak adanya setoran dari Freeport jelas mengurangi pendapatan negara. Dahlan berjanji akan segera akan menagih tunggakan perusahaan tambang emas terbesar di dunia itu.

"Ya ditagih, harus ditagih. Dan ini betul mengurangi pendapatan negara," ucap Dahlan di Klender, Jakarta.

4.  Capaian deviden perusahaan-perusahaan BUMN sepanjang 2013 hanya sekitar Rp 142 triliun. Nilai ini masih di bawah target yang ditetapkan sebesar Rp 150 triliun.

Turunnya harga komoditas ekspor dari sektor pertambangan dan perkebunan disebut-sebut sebagai penyebab tak tercapainya target setoran BUMN pada negara. Masalah lain datang dari PT Freeport.

"Beberapa BUMN karena harga ekspor turun di sektor pertambangan, perkebunan. Kemudian Freeport deviden tidak menyetor," ujar Wakil Menteri BUMN, Muhammad Yasin di Kantor PT Pelni, Jakarta, Senin (24/3).

Dia menyebut, seharusnya Freeport memberikan deviden sebesar Rp 1,5 triliun setiap tahun. Namun, sudah dua tahun terakhir perusahaan tambang emas terbesar di dunia ini berhenti memberikan deviden. "Rata-rata Rp 1,5 Triliun. Tapi Dua tahun lalu sudah berhenti,"ucapnya.

5.  Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa memastikan bakal meminta anak buahnya menagih kewajiban itu. Cuma dia mengaku belum mendapat informasi bila Freeport ternyata belum memenuhi kewajiban setoran dividen.

"Itu sudah kewajiban Freeport, kalau dividen kita tidak dibagikan wajib kita minta," ujarnya selepas menghadiri acara Muslimat NU di Jakarta, Selasa (25/3) malam.

Untuk sementara, Hatta menduga belum disetorkannya dividen ini masalah administrasi. Soalnya tambang terbesar di Tanah Air itu produksinya relatif berjalan normal. "Kok saya tidak yakin untuk perusahaan sekelas Freeport disengaja, mungkin soal administratif," cetusnya.

Tapi, buat memastikan apa penyebab Freeport belum membayar hak pemerintah Indonesia, dia menyebut itu tugas Kementerian Keuangan selaku bendahara negara. "Sebetulnya itu sudah jadi kewajiban Kemenkeu," tandasnya.(m.com/mk)

0 komentar: