Hosting Unlimited Indonesia

DPR Harus Adil

Written By Unknown on Friday, October 31, 2014 | Friday, October 31, 2014

Maruarar Siahaan
Jakarta (Metro Kalimantan) - DPR sebagai lembaga representasi rakyat harus bersikap adil dalam menyelesaikan konflik. Termasuk konflik di lingkungannya sendiri seperti yang terjadi sekarang ini dimana muncul dualisme parlemen. Sebab, tidak ada solusi lain yang dapat diambil kecuali musyawarah mufakat.

"Jika sistem dalam UU MD3 yang lama menghapus bahwa pemenang pemilu menjadi pimpinan DPR, maka penentuan pimpinan haruslah dilakukan dengan musyawarah mufakat yang menjunjung tinggi kepatutan, kepantasan, dan keadilan," kata mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan, kepada SP, di Jakarta, Jumat (31/10).

Menurutnya, penyebab utama konflik antara Koalisi Merah Putih (KMP) dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) adalah ketidakadilan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua DPR termasuk pimpinan pada alat kelengkapan DPR.

Sistem paket yang diterapkan, otomatis membuat KIH sebagai pemenang pemilu tertutup peluangnya mendapat kursi pimpinan karena, misi KMP yang menjadi mayoritas ingin menyapu bersih kursi pimpinan di parlemen.

Kondisi tersebut, menggerus logika DPR mewakili pemilik kedaulatan tertinggi yaitu rakyat. Alasannya, konflik yang terjadi menandakan KIH dan KMP mementingkan kelompoknya sendiri ketimbang menunjukkan kalau rakyat tidak sia-sia memberi tiket berupa suara untuk duduk di parlemen karena tak mampu mencerminkan daulat rakyat sebagai solusi konflik.

Lagipula, lanjut Maruarar, sulit diterima logika kalau, PDI Perjuangan (PDI-P) sebagai partai pemenang pileg tak mendapat jatah kursi pimpinan DPR hingga pada alat kelengkapan dewan. Atas dasar itu dirinya menduga PDI-P nekad membentuk parlemen tandingan.

"Rakyat sudah menentukan bahwa di legislatif PDI-P lah yang dikehendaki membawa suara mereka, sehingga untuk mewujudkan aspirasi mereka, merupakan haknya untuk memimpin DPR," ujarnya.

Maruarar menilai, munculnya dualisme menandakan tidak ada lagi jalan yang dapat diambil oleh KIH untuk memaksa bermusyawarah mufakat dengan KMP. Keadaan sudah buntu karena tidak ada lagi upaya hukum yang tersedia bagi KIH untuk mendapat jatah kursi pimpinan.

"Dalam keadaan buntu sekarang, dan tercipta dualisme, saya belum melihat adanya upaya hukum yang tersedia dalam hukum tata negara kita kecuali,  disadari oleh pihak yang merasa diri besar atau kuat, dia harus bersedia berbagi ruang dengan yang lebih kecil.

Bahkan di zaman orde baru yang disebut otoriter, musyawarah mufakat menjadi praktik yang berlaku," ujarnya.
Pakar hukum tata negara Margarito Kamis juga berharap kalau seluruh fraksi-fraksi di DPR mampu mengatasi konfliknya sendiri. Sebab, tak ada lagi celah hukum yang dapat diambil untuk mengatasi persoalan.

"Memang kalau teman-teman di DPR bisa menyelesaikan tentu akan mengagumkan," kata Margarito.

Menurutnya, kalau diantara dua pihak tidak ada yang mengalah maka, demi kepentingan bangsa, kekuasaan eksekutif dalam hal ini Wapres Jusuf Kalla (JK) yang dikenal ahli mengatasi konflik dapat mengambil peran.

"Usianya yang lebih senior dari yang lain serta kesediaannya mendengar serta menyerap perasaan orang adalah hal terbaik JK dalam kiprah politiknya. Cara penyelesaian seperti ini yang dibutuhkan, bukan argumen legal formal, dan yang paling penting tidak boleh menang-menangan," ujarnya.(sp/mk)

0 komentar: