Hosting Unlimited Indonesia

Alokasi Dana Desa Dan Pilkada Serentak Terancam Batal

Written By Unknown on Saturday, April 25, 2015 | Saturday, April 25, 2015

illustrasi ADD
Jakarta (Metro Kalimantan) - Politik anggaran yang diterapkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) mulai dari pengelolaan anggaran, desentralisasi fiskal dan keuangan negara, dinilai tidak mencerminkan Nawa Cita yang tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan diundangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 tahun 2015.

Khusus dana desa, Sekretaris Nasional (Seknas) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mensinyalir akan terjadi ketimpangan. "Dana yang sebelumnya dijanjikan sebesar Rp 1 miliar per desa, hanya akan turun sebesar 50 persen sampai 60 persen saja," kata Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra, Apung Widadi saat membeberkan sembilan catatan kinerja politik anggaran Jokowi di Jakarta, Jumat (24/4).

Dia mengatakan belum adanya aturan yang ketat akan menjadi celah para mafia anggaran di pusat dan di daerah. “Harusnya Jokowi buat perpres perihal penggunaan dan pengawasannya. Kemudian, harus ada formula crosscheck alokasi dari atas berapa. Kan petanya ada. Desa harus diberi kemampuan crosscheck sampai ke pusat,” kata Apung

Apung mengungkapkan, besaran dana desa yang akan dialokasikan belum sesuai dengan jumlah alokasi yang seharusnya diamanatkan, yaitu sebesar 10 persen dari total dana transfer daerah tahun 2015 sebesar Rp 643,5 triliun atau setara dengan Rp 64,35 triliun. Sedangkan, berdasarkan PP 60 tahun 2014 tentang Dana Desa, total dana yang dialokasikan untuk desa hanya sebesar Rp 20,7 triliun.

Selanjutnya, kata dia, dana desa rentan digunakan untuk pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada bulan Desember 2015. “Potensi kebocoran anggaran desa mencapai 30 persen sampai 40 persen dari total anggaran Rp 20,7 triliun. "Saya takutnya jadi sumber dana pilkada bagi sebagian daerah yang belum siap tetapi dipaksakan,” ujarnya.

Sekjen Fitra, Yenny Sucipto menambahkan bahwa anggaran pelaksanaan pilkada di kabupaten/kota yang mencapai Rp 5 - Rp 8 miliar, serta di tingkat provinsi puluhan miliar, dianggap pemicu penggunaan dana desa sebagai anggaran pelaksaan pilkada.

Tidak hanya dana desa, Yenny mengatakan alokasi dana untuk membiayai pilkada, berasal dari anggaran sektor publik seperti kesehatan dan pendidikan. Riset Fiitra menyatakan, Kabupaten Rokan Hulu Hilir menggunakan gaji ke-13 pegawai negeri sipil (PNS) untuk menalangi biaya pilkada.

“Dari 270 daerah, ada 65 kabupaten/kota yang tidak bisa pilkada karena tidak ada dana karena rendahnya ruang fiskal dan tidak memiliki dana cadangan,” papar Yenny.

Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla memastikan bahwa bulan April ini, dana desa akan cair sekitar Rp 750 juta per desa sebagaimana dijanjikan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Marwan Jafar.

Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) Reydonnyzar Moenek mengklaim bahwa 93,83 persen dari 68 daerah yang sebelumnya kesulitan anggaran, sudah tidak mengalami masalah lagi.

Beberapa solusi yang ditawarkan adalah menggunakan dana hibah atau dana kegiatan yang tidak perlukan serta melakukan penyisiran terhadap pos-pos anggaran yang perlu untuk diefisienkan.

Sebelumnya, sebanyak 68 daerah belum melaporkan kesiapan anggaran pilkada kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Setelah melalui tahap konsolidasi dengan Kemdagri, dari 68 hanya tersisa lima daerah yang belum menunjukkan kesiapannya. Adapun kelima daerah tersebut yaitu, Kabupaten Nias Selatan (Sumatera Utara), Kabupaten Membramo Raya (Papua), Kabupaten Yalimo (Papua), Kabupaten Boven Digoel (Papua), dan Kabupaten Majene (Sulawesi Barat).(Sp/B1/mk05)

0 komentar: