Hosting Unlimited Indonesia

Mantan Walikota Makassar Bisa Jadi Tersangka Baru PDAM

Written By Unknown on Sunday, May 11, 2014 | Sunday, May 11, 2014

Makassar -  Kasus dugaan korupsi di tubuh PDAM yang melibatkan mantan Wali Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Ilham Arief Sirajuddin, berpeluang menyeret tersangka baru. Ilham dinilai tak sendiri karena ada tim teknis yang lebih mengetahui dan terlibat dalam masalah ini.

Mantan Badan Pengawas (Bawas) PDAM Kota Makassar, Bastian Lubis, mengungkapkan, kebijakan kerja sama PDAM Makassar dengan PT Traya Tirta Makassar sebetulnya sudah dibuatkan rekomendasi karena adanya kerugian di pihak PDAM. Saat itu, Bastian termasuk bagian Bawas. Atas kerja sama itu, tarif PDAM menjadi naik.

Pada 2007, Bawas PDAM mengeluarkan rekomendasi agar menghentikan kerja sama dengan PT Traya. Pada 2008, saat Ilham akan mengikuti pemilihan wali kota, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit. Ilham sendiri yang meminta BPKP melakukan audit. Hasilnya keluar pada 30 Desember 2008.

"BPKP merekomendasikan kepada wali kota untuk memutus kontrak PT Traya dengan PDAM," ujar Bastian Lubis kepada wartawan.

Alasannya, jika kerja sama itu dilanjutkan, maka akan menambah kerugian PDAM. Masyarakat yang akan terbenani kenaikan tarif selama 25 tahun. Hanya saja, rekomendasi tersebut tak digubris alias didiamkan. 

Setelah itu, pada 2010 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga melakukan pemeriksaan keuangan Pemkot Makassar.

Rekomendasi sama atas PDAM juga dikeluarkan. Karena alasan tak menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan (LHP), BPK lalu melakukan audit investigasi pada 2011. Dari hasil investigasi itulah ditemukan dugaan kerugian negara Rp38,1 miliar.

Pada saat bersamaan, pada 2010, intalasi penjernihan air (IPA) selain IPA Panaikang, juga sudah mulai dikerjasamakan. Sebut saja ada IPA Sombaopu dan IPA Mallengkeri. IPA yang menjerat Ilham adalah IPA II Panaikang yang saat ini bergulir di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Karena tidak ditindaklanjuti oleh direksi, dicueki, maka BPK melaporlah ke KPK," imbuh Bastian Lubis.
Sebetulnya, pada 2009 KMAK juga telah melaporkan kasus ini, namun belum dilanjutkan oleh KPK. Saat itu, direksi PDAM juga kurang merespons laporan tersebut. Belakangan, setelah pergantian dirut dari Tajuddin Noor, ke Hamzah Ahmad, kerja sama dengan PT Traya tersebut belum juga diputuskan.

Hal ini yang disebutkan terjadi pembiaran dan tak mengindahkan rekomendasi BPK. Terkait orang-orang yang bisa saja dijerat terlibat, salah satunya adalah panitia lelang kerja sama dengan PT Traya tersebut. 

Apalagi, ada dua orang yang saat itu memberikan nilai 100 kepada PT Traya. Lelang itu dituding sebagai akal-akalan semata.

Alasannya, kata Bastian, PDAM bekerja sama dengan PT Traya, namun seakan-akan ikut tender. Skor 100 inilah yang mencurigakan karena terkesan ingin memenangkan PT Traya. Wali Kota Makassar saat itu, disebut terlibat karena ikut bertandatangan.

"Wali kota saat itu bertandatangan. Ya, penyalahgunaan wewenang. Wewenang itu ada pada dia, tetapi ndak dipakai. Padahal sudah diberi tahu oleh BPK supaya kontrak itu diputuskan," papar Bastian.

Alasan lain sehingga kerja sama itu merugikan yakni kenaikan tarif setelah kerja sama. Padahal sebelumnya, harga pokok untuk produksi air bersih hanya di kisaran Rp300-Rp400 untuk satuan tertentu. Setelah dipihakketigakan, justru naik menjadi Rp1.300.

Alasan PT Traya saat itu, menginvestasikan Rp73 miliar ditambah Rp5 miliar untuk praoperasi. Ternyata dari situ, karena ada kemahalan, sehingga Rp38,1 miliar itu sebetulnya tidak ada. Itulah yang dianggap kerugian berdasarkan temuan BPK. Namun nilai kerugian bisa saja meningkat karena KPK saat ini baru menghitung kerugian berdasarkan nilai investasi.

"Kewenangan Pak Ilham untuk memberhentikan kerja sama, itu tidak dilakukan," imbuhnya.

Koordinator Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia, Syamsuddin Alimsyah yang juga tergabung dalam KMAK yang turut melaporkan PDAM ke KPK, mengatakan, banyak kejanggalan dari kerja sama PDAM dan PT Traya tersebut. IPA Panaikang yang dikerjasamakan tidak membawa keuntungan.

"Hanya merawat lalu dijual kembali ke PDAM," ujar Syamsuddin. Ia juga menegaskan, sebelum ditangani BPK dan KPK, bawas PDAM sudah mengkaji dan itu dianggap tidak menguntungkan. Rekomendasi bawas menilai mekanismenya bermasalah. (zuk)

0 komentar: