|
Drajad Adhyaksa |
Jakarta (Metro Kalimantan) - Dua orang mantan petinggi di Dinas Perhubungan
(Dishub) DKI Jakarta, Drajad Adhyaksa dan Setiyo Tuhu terancam pidana
penjara selama 20 tahun.
Sebab, keduanya didakwa melakukan perbuatan
melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan sehingga menguntungkan
diri sendiri atau orang lain terkait pengadaan busway (transjakarta) dan
pengawasannya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun
2013.
Dalam surat dakwaan terpisah, Drajad selaku Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Setiyo selaku Ketua
Pengadaan Barang/Jasa Bidang Konstruksi I Dishub DKI, disebut melakukan
perbuatannya bersama-sama dengan Udar Pristono selaku Kepala Dinas
Dishub DkI sekaligus Pengguna Anggaran (PA), Prawoto selaku Direktur
Pusat Teknologi Industri dan Sistem Transportasi Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (PTIST-BPPT).
Selain itu, disebut juga bersama-sama dengan pihak swasta, yaitu Chen
Chong Kyeong selaku Direktur Utama PT Korindo Motors (KM), Budi Susanto
selaku Direktur Utama PT Mobilindo Armada Cemerlang (MAC) dan Agus
Sudiarso selaku Direktur PT Ifani Dewi (ID).
Dalam penjelasannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat, peristiwa berawal dari pengangkatan terdakwa Drajad
sebagai PPK dan Setiyo sebagai Ketua Panitia Pengadaan oleh Udar
Pristono atas proyek pengadaan bus busway articulated (gandeng) dan
single sebesar Rp 848.112.775.000, serta pengadaan bus sedang senilai Rp
299.300.000.000.
Tetapi, dari 15 paket pengadaan yang harusnya dilakukan lelang. Hanya,
14 paket pengadaan yang berhasil dilelang. Itupun hanya 4 paket
pekerjaan yang telah dilaksanakan, yaitu pengadaan busway articulated
paket 1 sebanyak 30 unit, busway articulated paket IV sebanyak 30 unit,
busway articulated paket V sebanyak 29 unit dan busway single paket II
sebanyak 36 unit.
Namun, dalam pelaksanaannya disebut banyak kekeliruan. Pertama, dari
tahap perencanaan, spesifikasi teknis sampai penentuan harga perkiraan
sendiri dikerjakan oleh BPPT, yaitu Prawoto dan stafnya. Bahkan dibuat
surat kerjasamanya. Padahal, BPPT tidak pernah memberi surat tugas
kepada Prawoto.
Selanjutnya, terdakwa Drajad menyerahkan pembuatan dokumen pengadaan
kepada Prawoto. Padahal, seharusnya dikerjakan oleh panitia pengadaan.
"Seharusnya tetap diperlukan panitia pengadaan untuk memproses pemilihan
barang/jasa dengan menggunakan metode pelelangan atau seleksi umum.
Bukan berdasarkan penunjukan langsung, sebagaimana pekerjaan perencanaan
yang ditugaskan Udar kepada Prawoto," kata jaksa Agustinus Heri saat
membacakan dakwaan Drajad dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta,
Senin (27/10).
Tak berhenti disitu, terdakwa Drajad juga memerintahkan Prawoto membuat
HPS berdasarkan kontrak tahun 2012 serta berasal dari berkas penawaran
peserta lelang.
Kedua, dari tahap pelaksanaan lelang, ternyata banyak penyimpangan yang
dilakukan terdakwa Setiyo selaku Ketua Panitia Pengadaan.
Agustinus mengungkapkan penetapan PT KM dengan harga penawaran Rp
113.856.000.000 sebagai pemenang lelang pengadaan busway articulated
paket I dinilai janggal sebab harga penawarannya lebih mahal dari PT
Putriasi Utama Sari yang hanya Rp 96.390.000.000.
Demikian juga, penetapan PT MAC dengan harga penawaran Rp
110.265.000.000 sebagai pemenang lelang pengadaan busway articulated
paket IV dinilai janggal sebab harga penawarannya lebih mahal dari PT
Putriasi Utama Sari yang hanya Rp 96.390.000.000.
Dalam pengadaan busway articulated paket V, juga dianggap janggal karena
memenangkan PT ID dengan harga penawaran Rp110.520.000.000. Padahal, PT
Putriasi mengajukan penawaran lebih rendah, yaitu sebesar Rp
96.390.000.000.
Penetapan PT ID sebagai pemenang lelang pengadaan busway single paket II
juga disebut janggal. Sebab, harga penawarannya sebesar
Rp67.658.400.000 lebih mahal dibandingkan penawaran PT Srikandi
Metropolitan sebesar Rp 63 miliar.
Padahal, Agustinus mengungkapkan, seharusnya perusahaan pemenang lelang
tersebut tidak diloloskan dalam tahap penilaian kualifikasi karena tidak
mempunyai kemampuan dasar sesuai pekerjaan yang dilelangkan.
"Kenyataannya dalam dokumen penawaran hanya melampirkan pengalaman
perusahaan dalam pekerjaan pengadaan dan penjualan sehingga seharusnya
tidak lolos kualifikasi," tegas Agustinus.
Ditambah lagi, dalam proses penentuan pemenang lelang, terdakwa Setiyo
tidak melakukan penelitian terhadap kelengkapan sertifikasi ISO 9001,
tidak melakukan penelitian dan penilaian terhadap produk yang
ditawarkan.
Apalagi, ternyata terdakwa Setiyo merubah atau menambahkan atau
mengganti dokumen penawaran setelah batas akhir pemasukan penawaran,
yaitu menambahkan persyaratan administrasi berupa keagenan dari
Kementerian Perindustrian. Sehingga mengugurkan penawaran PT Putriasi
Utama dari proses lelang pengadaan busway articulated paket I, IV dan V.
Sementara itu, terdakwa Drajad disebut malah menyetujui hasil proses
lelang yang tidak sesuai aturan tersebut. Dengan menetapkan para
pemenang lelang dan menerima unit-unit busway yang tak sesuai
spesifikasi.
Bahkan, terdakwa Drajad disebut membuat surat perjanjian kerjasama
dengan empat perusahaan untuk mengawasi pekerjaan pengadaan busway
tersebut.
Padahal, perusahaan pengawas tersebut hanya dipinjam benderanya oleh Iwan Kuswandi dan telah bekerjasama dengan Prawoto.
Atas perbuatan keduanya, mulai dari tahap perencanaan kegiatan sampai
tahap pelaksanaan menyebabkan negara mengalami total kerugian seluruhnya
mencapai Rp 392.788.855.200. Sebab, seharusnya semua unit busway
tersebut tidak diterima karena tidak sesuai spesifikasi.
Jumlah tersebut diperoleh dari total uang yang sudah dibayarkan kepada
PT KM sebesar Rp 13.830.110.000, PT MAC sebesar Rp 105.765.000.000, PT
ID sebesar Rp 103.356.000.000 dan Rp 67.428.504.000. Serta, kerugian
dari pekerjaan penawasan sebesar Rp 2.409.241.200.
Sementara itu, berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan
Pembangunan (BPKP) negara dirugikan sebesar Rp 54.389.065.200 dari
pengadaan busway articulated paket I,IV,V dan pengadaan busway single
paket II.
Jumlah tersebut diperoleh dari selisih dugaan markup (penggelembungan)
harga per unit busway. Serta, dari pengeluaran biaya pengawasan
pekerjaan.
"Harga per unit busway articulated paket I sebesar Rp 3.795.200.000
tetapi harga aslinya seharusnya Rp 3,213 miliar. Sehingga, terdapat
selisih harga Rp 17,466 miliar untuk 30 unitnya," jelas Agustinus.
Kemudian, harga per unit busway articulated paket IV sebesar Rp
3.675.500.000 tetapi harga aslinya seharusnya Rp 3,213 miliar. Sehingga,
terdapat selisih harga Rp 13,875 miliar untuk 30 unitnya.
Selanjutnya, selisih harga 29 unit busway articulated paket V sebesar Rp
13,695 miliar. Sebab, harga per unit busway articulated sebesar Rp
3.684 miliar tetapi harga aslinya seharusnya Rp 3,213 miliar.
Sedangkan, selisih harga pengadaan busway single paket II sebanyak 36 unit sebesar Rp 6.979.824.000.
Atas perbuatan keduanya dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU
Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Subsider, Pasal 3 jo Pasal 18 UU
Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dengan ancaman hukuman maksimal 20
tahun penjara.
Menanggapi dakwaan jaksa, kubu Drajad mengaku tak akan mengajukan eksepsi (nota keberatan).
"Kami tidak akan mengajukan eksepsi," kata salah satu penasehat hukum Drajad, Yanti Nurdin dalam sidang.
Demikian juga, kubu Setiyo mengaku tidak akan mengajukan eksepsi.
Sehingga, Ketua Majelis Hakim, Supriyono memutuskan sidang selanjutnya
akan digelar pada Senin (3/11) secara terpisah. Dengan agenda, langsung
mendengarkan keterangan saksi-saksi.(sp/mk)