|
BW Saat Dibawa pakai bergol dan paki sarung |
Jakarta (Metro Kalimantan) - Penangkapan terhadap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto
alias BW menjadi peristiwa yang paling tragis. Mantan Ketua Dewan
Pengurus YLBHI itu merupakan satu-satunya pimpinan KPK yang ditangkap
serta diborgol seusai mengantar anak bungsunya berangkat menuju sekolah
di Sekolah Dasar Negeri Islam Terpadu (SDIT) Nurul Fikri, Depok, Jumat
(23/1) pagi.
BW ditangkap dengan hanya mengenakan sarung, baju koko, dan peci hitam.
Diborgol lalu dimasukan ke dalam mobil untuk dibawa ke Bareskrim Polri.
Kejadian tersebut sangat mengejutkan karena, penangkapan dilakukan atas
dasar yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka.
Tuduhannya, menyuruh saksi memberikan keterangan palsu di bawah sumpah
di hadapan majelis dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat,
Kalteng, di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2010.
BW dijerat Pasal 242 junto Pasal 55 KUHP dengan ancaman hukuman 7 tahun
penjara oleh Bareskrim Polri. Kontan, KPK mengecam keras perlakuan buruk
yang dilakukan Polri terhadap salah satu pimpinannya itu. Alasannya
kapasitas BW selaku pejabat publik, tak sepatutnya diperlakukan dengan
cara di luar etika hukum.
"Pejabat negara ditangkap setelah baru saja mengantarkan anaknya ke
sekolah. Penangkapan juga dipertontonkan di sana dengan tangan BW
diborgol dengan sewenang-wenang," kata Deputi Pencegahan KPK Johan Budi,
di Jakarta, Jumat (23/1).
Pakar hukum Yenti Garnasih juga mengecam langkah yang diambil Polri.
Perlakuan polisi terhadap BW dianggap sebagai bentuk kemunduran
penerapan hukum. Bahkan dia menuding cara yang diterapkan polisi
bermotif dendam lantaran KPK telah menetapkan calon tunggal Kapolri,
Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka penerima gratifikasi.
"Sedih melihat cara penerapan hukum yang menyiratkan kearoganan dan
adanya kesan balas dendam atas penetapan tersangka BG," kata Yenti.
Tak memakan waktu hingga 24 jam seusai ditangkap untuk diperiksa, BW pun
diancam bakal dikenakan status penahanan dalam kasus yang baru
diselidiki Bareskrim Polri pada 15 Januari 2015 karena dikhawatirkan
menghilangkan alat bukti. Namun, dirinya dibebaskan pada Sabtu (24/1)
dini hari.
Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) UU KPK maka status BW
sebagai pimpinan KPK diberhentikan sementara atau nonaktif karena
berstatus tersangka tetapi, penonaktifan harus dilakukan melalui
Keputusan Presiden (Keppres).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri
dalam pidatonya di Istana Bogor tidak memberi solusi konkret kecuali
imbauan agar tidak ada gesekan antara KPK-Polri terkait kasus itu.
Penangkapan yang dilakukan Polri terhadap pimpinan KPK bukan kali ini
terjadi. Pada 2009, Antasari Azhar pernah ditersangkakan dengan tuduhan
pembunuhan berencana. Namun, perlakuan terhadap yang bersangkutan tidak
seperti yang dialami BW.
Antasari ditetapkan sebagai tersangka dan dicegah berpergian ke luar
negeri pada 1 Mei 2009. Empat hari kemudian yang bersangkutan ditahan di
Polda Metro Jaya setelah diperiksa sebagai tersangka. Saat memenuhi
panggilan, Antasari didampingi oleh tim kuasa hukumnya.
Kendati demikian, Antasari yang disebut-sebut dikriminalkan, perkaranya
terus berproses hingga ke persidangan dan divonis 18 tahun penjara.
Upaya hukumnya mencari keadilan selalu kandas. Setelah menyandang status
tersangka dan dinonaktifkan, Antasari langsung diberhentikan tetap dari
jabatannya sewaktu menyandang status terdakwa.
Polisi juga pernah mentersangkakan hingga menahan dua Komisioner KPK
Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah pada 2009. Bibit-Chandra
ditersangkakan dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang sewaktu
mencegah bos PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo dan mencabut status
cegah bos PT Era Giat Prima Djoko Soegiarto Tjandra. Keduanya juga
dinonaktifkan lantaran kasus itu.
Perkara tersebut menjadi perhatian masyarakat dan dikenal dengan kasus
cicak vs buaya. Tak lama setelah Presiden SBY memerintahkan Polri dan
Kejaksaan Agung menghentikan perkara keduanya di luar pengadilan, MK
mengabulkan sebagian gugatan Pasal 32 UU KPK mengenai ketentuan
pemberhentian pimpinan KPK yang digugat Bibit-Chandra.
MK memutus, Pasal 32 ayat (1) huruf c yang mengatur pimpinan KPK
diberhentikan ketika menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana
kejahatan, berlaku bersyarat. MK menyatakan pimpinan KPK dapat
diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana yang telah
berkekuatan hukum tetap.
Polemik kasus Bibit-Chandra pada saat itu terus bergulir dan menuai pro
dan kontra. Langkah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum
(deponering) yang dilakukan Kejaksaan Agung dianggap bukan sebagai
solusi mengingat, Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) yang
dikeluarkan untuk Bibit-Chandra diputus pengadilan hingga tingkat
Mahkamah Agung (MA) tidak sah.
Kendati demikian, langkah deponering membawa konsekuensi kalau
Bibit-Chandra dapat kembali lagi memimpin KPK. Keppres penonaktifan
keduanya dicabut melalui Keppres yang dikeluarkan Presiden SBY.
Dalam konferensi pers di KPK, Johan Budi sempat mengeluarkan pernyataan
bernada satir bahwa, badan antikorupsi itu selalu bersitegang dengan
institusi Polri setiap tiga tahun. Di mulai dari tahun 2009 dimana
terjadi peristiwa cicak vs buaya, berlanjut di tahun 2012 ada penyerbuan
anggota polisi ke KPK terkait perkara simulator SIM, dan tahun 2015
Bambang Widjojanto ditangkap Bareskrim.
"Ini seperti siklus tiga tahunan. 2009 ada cicak vs buaya, 2012 ada
penyerbuan, sekarang 2015 ini seperti tsunami atau apa. Ini saya melihat
seperti ada siklus tiga tahun. Kita tidak tahu tahun 2018 apa yang
terjadi," katanya.(sp/mk03)